Fakta lainnya, bahwa untuk kedelai, 1 hektar lahan hanya bisa menghasilkan keuntungan Rp 1,5-2 juta, itu pun termasuk besar, kemudian jagung bisa menghasilkan untung 4-5 juta/hektare, sementara padi Rp 5-6 juta/hektare. “Jadi dipaksa apapun mungkin nggak bisa,” sebut SYL.
Faktor lain yang membuat Indonesia kalah dari kedelai impor adalah adanya larangan produksi untuk Genetically Modified Organism (GMO) atau Organisme Termodifikasi secara Genetis, di antaranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal, sebagian besar produk impor yang masuk ke Indonesia masuk ke dalam klasifikasi itu. SYL mengakui itu juga menjadi salah satu penyebabnya.
Namun ironisnya, kedelai yang diimpor Indonesia adalah GMO. Sementara petani Indonesia tidak boleh produksi GMO, tapi Negara AS, Brazil lain-lain ekspor jagung, apalagi gandum baik gandum konsumsi, gandum untuk pakan, semua GMO. Kalau kita konsisten semua GMO maka tidak diperbolehkan untuk masuk Indonesia dan ini akan menyelamatkan petani kedelai Indonesia, dan juga petani petani lainnya.
Tidak aneh jika orang terus mengatakan Indonesia ini aneh. Sampai saat ini masyarakat Indonesia diperbolehkan negara untuk mengkonsumsi produk GMO yang seluruhnya dari impor, seperti jagung dan kedelai. Tetapi petani kita malah tidak boleh menanam GMO. Akibatnya, tidak ada minat dari petani untuk menanamnya dan bersaing dengan produk impor karena jelas kalah murah. Kelesuan ini seolah sengaja diciptakan untuk memberikan jalan lebar berkarpet merah bagi para penjajah ekonomi.
Dalam konteks tersebut, ini jelas ada banyak tangan tak terlihat raksasa, giant invisible hands, menjadi tangan-tangan iblis yang tak terlihat, yang kemudian memainkan regulasi Indonesia. Apakah pemerintah Indonesia memang tidak memiliki kekuatan untuk melawan tangan-tangan tak terlihat tersebut. Dan Indonesia benar-benar dikempit oleh negara-negara penganut ideologi ekonomi neoliberalis bin kapitalis sehingga petani Indonesia menjadi tidak berkutik. Petani pun seolah didesain untuk tidak produktif dan sengaja dikalahkan oleh produk luar negeri.
Lantas pertanyaannya, apakah ada pengaruh pemerintah menggalakkan industri halal dengan target menjadi pemain utama industri halal dunia, sementara belum ada komitmen pemerintah untuk meningkatkan industri dalam negeri dengan regulasi-regulasi yang menguntungkan petani dan produsen Indonesia sendiri. Banyak makanan dan barang yang diimpor meski pada dasarnya Indonesia mampu untuk mengembangkannnya sendiri.
Pilihan editor: Apakah Panic Buying Terjadi Karena Situasi Ekonomi, Gender, dan Pendidikan?
Meskipun industri halal digalakkan, Indonesia tidak akan pernah mampu menjadi pemain utama di kancah global industri halal jika kemampuan dan kapasitas industri halal kita sengaja dibelenggu oleh para makelar neolib bin kapitalis tersebut yang notabenenya adalah orang-orang yang ada di pemerintahan dan legislatif sendiri.
Semoga saja dengan masuknya ekonomi Islam dalam regulasi ekonomi di Indonesia bisa mengusir ekonomi iblis yang bercokol di Indonesia. Mengusir dan mengalahkan eksistensi baik itu negara penganutnya, sampai makelarnya yang ada di eksekutif dan DPR Indonesia, yang menikmati penderitaan atas rakyat Indonesia.
"Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.
(QS. Al Israa : 8)