Pengalaman yang mereka bertiga rasakan selama tinggal di USA tentang kebebasan berbicara di depan umum dalam mengkritisi sesuatu yang "tidak pada tempatnya" membentuk sikap kritis mereka terhadap persoalan yang sama. Di Amerika, selain partai oposisi yang ada di parlemen, orang bebas mengkritik kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat.Â
Apa yang dilakukan Amien Rais dan Din Syamsuddin yang sering kritis terhadap kebijakan pemerintah adalah bagian dari demokrasi yang harus dipahami. Meskipun, sikap kritis ini seharusnya merupakan bagian dari fungsi kontrol lembaga legislatif.Â
Tetapi, di Indonesia, sikap oposisi terhadap pemerintah belum nampak menjadi salah satu fungsi legislatif. Hampir semua partai berkeinginan dirangkul dalam kekuasaan. Di tengah kondisi kehidupan demokrasi di Indonesia, tiga tokoh Muhammadiyah ini mencoba mengekspresikan ide dan pendapatnya terhadap sesuatu yang dinilai tidak benar. Semangat seperti ini, selain dibentuk oleh pengalaman seperti disebutkan di atas, juga karena semangat "nahi munkar," yang merupakan bagian dari sifat gerakan "amar ma'ruf nahi munkar."Â
Sebagian orang di luar Muhammadiyah, kadang keliru memahami bahwa upaya kedua tokoh Muhammadiyah dalam mengekspresikan "nahi munkar" melalui sikap kritis dinilai sebagai radikal. Sikap sebagian alumni ITB yang meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memecat Din Syamsuddin dari Majlis Wali Amanah (MWA) ITB, karena yang bersangkutan dianggap "radikal," adalah contoh kesalahpahaman itu. Meskipun, sebagian alumni ITB yang lain menyayangkan bahwa tuduhan yang dimaksud tidak pada tempatnya.Â
Bagi Din Syamsuddin, ini sesungguhnya merupakan sikap moderat dari perintah agama dalam merespon sesuatu yang dinilai sebagai perbuatan munkar. Moderasi sikap terhadap kemungkaran ditunjukkan "tidak dengan tindakan kekerasan" dan juga tidak "mendiamkan". Meskipun disadari bahwa jika sikap terakhir ini yang menjadi pilihan, maka itu adalah selemah-lemah iman.Â
Budaya Nalar KritisÂ
Sikap kritis terhadap suatu kondisi yang dinilai "tidak seharusnya" sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh Pimpinan Persyarikatan. Sejak organisasi ini berdiri sikap kritis ditunjukkan terhadap kebijakan yang tidak adil oleh pemerintah kolonial Belanda pada umat Muslim. Zaman pemerintahan Orde Lama, Muhammadiyah disisihkan semata karena ketidaksetujuannya terhadap politik NASAKOM.Â
Meskipun Presiden Soekarno "mengaku" sebagai kader Muhammadiyah. Zaman Orde Baru, karena sikap kritis Muhammadiyah terhadap kebijakan pemerintah, banyak tokoh Muhammadiyah dijebloskan ke penjara melalui rekayasa kasus "Komando Jihad." Demikian juga reaksi Muhammadiyah terhadap keluarnya Undang-Undang Keormasan pada 1985, yang membatasi dasar ideologi gerakan sosial kemasyarakatan.Â
Lihat juga:Â 3 Poin Penting untuk Menghadapi Teknologi Menurut Sekjen PP Pemuda Muhammadiyah
Meskipun pada akhirnya perbedaan pendapat antara pemerintah dan Muhammadiyah bisa diselesaikan oleh kepemimpinan Pak A.R. Fachrudin. Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu I dan II tepatnya pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Muhammadiyah mengkritisi kebijakan "Deradikalisasi" pemerintah. Muhammadiyah mengkhawatirkan "Deradikalisasi" justru akan melestarikan gerakan radikal itu sendiri. Resikonya Muhammadiyah tidak "disapa" rezim.Â
Banyak kebijakan, terutama di bidang pendidikan, merugikan sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, karena sikap pilih kasih dari pelaksana program pemerintah di kementerian.Â