Oleh: Lucky Rahmadani, Umroh, Kharisma Rangga Saputra, Lukman Nulhakim, M. Pd., Annisa Novianti Taufik, M. Pd.
Serang, 19 November 2024
KOMPAS - "Sebagai guru IPA, saya tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga berperan sebagai fasilitator dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan pemecahan masalah," ungkap Fachri, seorang guru IPA SMP di Kota Serang.
Pernyataan Fachri mencerminkan transformasi peran guru di era modern. Dari yang semula hanya berperan sebagai penyampai informasi, kini guru dituntut menjadi arsitek pengalaman belajar yang mendorong perkembangan kognitif dan sosial-emosional siswa.
"Saya berusaha menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, aman, dan mendorong rasa ingin tahu siswa," tambah Fachri yang telah mengajar selama 12 tahun. Dia menerapkan berbagai strategi pembelajaran inovatif, termasuk mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari.
Tantangan Era Digital
Meski demikian, Fachri mengakui bahwa profesi guru menghadapi berbagai tantangan di era digital. "Kami dituntut untuk terus mengupdate pengetahuan dan keterampilan, tetapi sering kali kesempatan pengembangan profesional terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil," jelasnya.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Fachri aktif bergabung dalam komunitas guru online. "Bergabung dengan forum guru IPA online membantu saya mendapatkan ide-ide baru untuk eksperimen dan proyek, serta dukungan dalam menghadapi tantangan pengajaran," ujarnya.
Integrasi Kearifan Lokal
Menariknya, Fachri juga berupaya mengintegrasikan kearifan lokal dalam pembelajaran IPA. "Saya sering menggunakan contoh sistem pengairan tradisional dalam menjelaskan konsep ekosistem dan pengelolaan sumber daya air. Ini membuat pembelajaran lebih relevan dan bermakna bagi siswa," jelasnya.
Pendekatan ini terbukti efektif meningkatkan pemahaman dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Selain itu, Fachri juga menginisiasi program "Jurnal Pengamatan Harian" di mana siswa mencatat dan menganalisis fenomena ilmiah yang mereka temui di luar sekolah.
Pendidikan Karakter
"Sebagai guru IPA, saya tidak hanya mengajarkan konsep-konsep ilmiah, tetapi juga nilai-nilai seperti kejujuran dalam melaporkan hasil eksperimen, ketekunan dalam menyelesaikan proyek, dan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan," tegas Fachri.
Untuk mendukung hal tersebut, dia menerapkan sistem "Buddy Research" dimana siswa yang lebih mahir membantu teman yang kesulitan. Program ini tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi, tetapi juga menumbuhkan empati dan kepedulian sosial.
Kisah Fachri menggambarkan kompleksitas peran guru modern yang tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, tetapi juga harus mampu menjadi fasilitator, motivator, dan teladan bagi siswa-siswanya.
Kreativitas Tanpa Batas
"Keterbatasan sarana tidak boleh membatasi kreativitas kita dalam mengajar," ujar Fachri sambil merapikan alat peraga buatannya. "Justru dengan keterbatasan ini, saya dan siswa belajar untuk lebih kreatif memanfaatkan barang-barang sederhana di sekitar kita."
Guru IPA SMP ini mengembangkan apa yang disebutnya "laboratorium portabel" - kumpulan alat peraga sederhana yang dapat dengan mudah dibawa ke mana-mana. "Tidak semua sekolah punya lab lengkap. Tapi dengan alat-alat sederhana ini, siswa tetap bisa melakukan eksperimen dan memahami konsep sains secara langsung," jelasnya.
Pembelajaran Berbasis Proyek
"Saya mendorong siswa untuk membuat proyek sains dari barang bekas. Minggu lalu, mereka membuat pembangkit listrik tenaga angin mini dari botol plastik dan dinamo bekas DVD player," cerita Fachri dengan antusias. Menurutnya, pendekatan ini tidak hanya mengajarkan sains, tetapi juga kesadaran lingkungan dan kemampuan problem-solving.
Program "Green Science" yang diinisiasinya berhasil mengubah sampah plastik sekolah menjadi berbagai alat peraga pembelajaran. "Kami punya kebun hidroponik dari botol bekas, alat penjernih air sederhana, bahkan miniatur pembangkit listrik tenaga surya," tambahnya.
Menginspirasi Sesama Pendidik
Keberhasilan Fachri menginspirasi rekan-rekan guru lainnya. Melalui workshop online yang diselenggarakannya setiap bulan, dia berbagi tips dan trik membuat alat peraga murah meriah. "Banyak guru yang mengira pembelajaran IPA harus selalu dengan alat mahal. Padahal yang terpenting adalah kreativitas dan semangat untuk terus berinovasi," tegasnya.
Tantangan ke Depan
Meski telah meraih berbagai prestasi, Fachri mengaku masih banyak tantangan yang harus dihadapi. "Ke depan, saya ingin mengembangkan platform digital yang memungkinkan guru-guru berbagi ide pembelajaran kreatif mereka," ungkapnya. "Dengan begitu, keterbatasan sarana tidak lagi menjadi hambatan dalam memberikan pendidikan berkualitas."
Di akhir wawancara, Fachri menekankan pentingnya mengubah mindset dalam menghadapi keterbatasan. "Jangan lihat apa yang tidak kita punya, tapi maksimalkan apa yang ada. Dengan cara itulah kita bisa terus berinovasi dan memberikan yang terbaik untuk anak didik kita," tutupnya "laboratorium portabel"-nya, bersiap untuk kelas berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H