Mohon tunggu...
Umratun Sasmita UIN Mataram
Umratun Sasmita UIN Mataram Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa, saya menggunakan akun ini dengan semaksimal mungkin termasuk sebagai pemenuhan tugas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Joki Cilik di Arena Pacuan Kuda, Tradisi atau Eksploitasi Anak?

19 Oktober 2022   23:20 Diperbarui: 19 Oktober 2022   23:32 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seperti yang saat ini tengah ramai diperbincangkan pada 12 Oktober 2022 lalu. Aksi joki cilik di salah satu pacuan kuda Kota Bima Cup yang diadakan di Panda, Kabupaten Bima. Terlihat dari salah satu video yang direkam dan beredar di media sosial, yang memperlihatkan seorang joki cilik bergelantungan di leher kuda yang berlari cukup kencang. Beruntung tidak ada luka serius yang di alami joki cilik tersebut.

Kuda bernama James Bond yang diduga milik orang nomor satu di NTB, gubernur NTB termasuk dalam kriteria kuda kelas F, yaitu klasifikasi kuda paling besar. Ketua panitia Pacuan Kuda kota Bima Cup, Sudirman Dj menjelaskan usia anak yang menjadi joki pada kelas kuda paling besar yaitu 12 tahun. 

Usia ini jelas lebih rendah dari Surat Edaran (SE) walikota Bima yang telah ditetapkan per tanggal 19 Juli 2020 lalu, kelas kuda berukuran paling besar diatur usia joki antara 15 hingga 19 tahun.

Sebagai pecinta kuda Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah, SE., M. Sc., di beberapa kesempatan pernah menyampaikan tidak setuju terkait adanya joki cilik. Namun, kehadiran anak sebagai penunggang kuda dalam berbagai ajang kompetisi pacuan kuda sudah mengkultur ditengah masyarakat.

Tradisi para joki cilik sudah menjadi ikonik di arena pacuan kuda pulau Sumbawa, mengingat ukuran dan jenis kuda yang digunakan oleh masyarakat, termasuk jenis kuda yang kecil. Sehingga cocok ditunggangi oleh joki anak-anak.  

Pacuan kuda disebut juga olahraga berkuda dengan menggunakan joki cilik sudah menjadi sebuah tradisi yang mengakar di masyarakat Sumbawa, Dompu, dan Bima. Jadi, tidak bisa serta merta dicap sebagai bentuk eksploitasi anak. Akan dikatakan sebagai eksploitasi terhadap anak, apabila hal itu dilakukan atas dasar unsur pemaksaan dalam artian seorang anak di bawah umur dipaksa untuk menjadi joki untuk pacuan koda yang diperlombakan.

Penggunaan Joki cilik yang menjadi budaya masyarakat yang mengakar di pulau sumbawa ini, menjadi tradisi masyarakat setempat yang memiliki nilai budaya yang harus dihormati bersama. Jadi tidak heran, memelihara kuda dan bermain kuda menjadi keunikan tersendiri bagi masyarakat.

Oleh sebab itu, dalam mempertahankan kultur budaya yang ada ini, pemerintah baik provinsi maupun kabupaten dan kota telah melakukan berbagai ikhtiar dan upaya. Untuk menemukan solusi yang tepat dari hal yang masih menjadi perdebatan di masyarakat ini. Termasuk melalui Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI), untuk memperketat keamanan dan peraturan di arena pacuan kuda. 

Mengatur jenis dan ukuran kuda sesuai kelasnya dengan usia joki cilik yang telah diatur dalam SE yang digunakan.Untuk meminimalisir akibat adanya kecelakaan terhadap joki cilik. Menerapkan segala bentuk aturan yang ada demi keselamatan joki cilik dan keberlangsungan budaya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun