Akhir-akhir ini istilah doom spending sedang marak dimedia sosial. Doom spending adalah istilah yang berarti "pembelanjaan malapetaka" yang umumnya terjadi pada generasi Z atau milenial. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan terutama bagi orang tua yang mempunyai anak generasi Z. Dikutip dari Psikology today, doom spending adalah berbelanja secara impulsif yang tidak berpikir panjang tentang keadaan ekonomi.
Kebetulan kami juga mempunyai anak yang saat ini baru masuk disalah satu universitas negeri di Kota Malang. Belajar dan tinggal diluar kota tentunya dengan self management of finansial. Ia hidup bersama dengan teman-temannya dirumah kost, jadi harus belajar mengelola keuangan.
Bagi anak yang tidak pernah jauh dengan orang tua, ini merupakan pengalaman baru yang memerlukan proses adaptasi, baik dari pengaturan keuangan, tinggal jauh dengan orang tua, lingkungan baru, kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya dan lain sebagainya.
Kebetulan anak saya terbiasa jauh dengan kami orang tuanya. Sejak lulus sekolah dasar, ia melanjutkan sekolah dilingkungan pondok pesantren di Kota Jombang. Ia mondok selama 6 tahun dan sekolah di MTs sampai SMA. Ia sudah terbiasa hidup dengan teman-temannya, mengelola uang saku untuk beli jajan di sekolah atau kebutuhannya selama dipondok. Untuk keperluan pembayaran asrama ataupun sekolahnya kami sudah transfer ke pengurus atau pengelolanya.
Di asramanya memang sudah menggunakan pembayaran secara digital. Tidak lagi menggunakan uang tunai bila bertransaksi membeli sesuatu dilingkungan asrama, kecuali laundry yang memang menggunakan jasa orang dari luar. Jadi kami bisa memantau segala transaksi yang dilakukan putra kami karena setelah bertransaksi, segera ada notifikasi di HP kami. Misal ada notifikasi " Hafidz (nama anak kami) membeli sarapan pagi dan teh hangat dikantin putra seharga Rp. 10.000." Aplikasi ini sangat membantu untuk memantau pengeluaran yang dilakukan anak kami selama di asrama.
Orang tua jadi mudah mengetahui keadaan keuangan karena bisa mengecek saldo diaplikasi tersebut. Untuk mengarah ke budaya doom spending juga tidak bisa karena anak tidak boleh membawa HP selama dipondok.
Tetapi sekarang anak kami sudah kuliah dan  tidak mondok lagi. Kini tinggal dirumah kost maka keuangan untuk makan dan segala keperluannya selama di kost ada pada anak kami. Maka kami harus tetap mengontrol agar anak tidak terjerumus budaya doom spending. Apalagi sekarang sudah membawa HP yang mempermudah mengakses banyak kebutuhan atau tawaran yang menggiurkan.
Ditambah lagi dengan lingkungan teman-teman yang baru maka segala pengaruh akan bisa masuk. Tergantung pada keimanan dan keteguhan hati anak agar tidak terpengaruh kebiasaan yang kurang baik.
Kami tetap memantau anak kami walaupun kini sudah menjadi mahasiswa. Terutama mengingatkan untuk tidak meninggalkan sholat lima waktu dan tetap mengaji setiap hari.
Untuk mengontrol pengeluaran keuangan agar tidak mengarah ke fenomena doom spending, ini yang kami lakukan.  Anak kami membawa ATM dan kami pasang notifikasi di HP ayahnya tentang pemberitahuan transaksi yang terjadi. Setiap ia mengambil uang, maka sudah ada notif di HP ayahnya. Bila ia mengambil uang yang agak banyak, kamipun mengkroscek untuk keperluan apa. Bukannya kami terlalu mengekang, namun kami selaku orang tua harus tetap mengarahkan  yang terbaik untuk anak kami. Kami juga tidak membatasi bila ia ingin sesuatu yang menjadi kebutuhannya misal baju atau kaos. Namun harus tetap pada tingkat yang wajar karena memang menjadi kebutuhan.
Derasnya media sosial memang sulit dihindari oleh siapapun. Namun kita sebagai orang tua harus selalu waspada, tidak membiarkan dan membebaskan anak karena tinggal jauh dengan kita. Tetap memantau dan memberikan teladan yang baik bagi anak kita. Â