Saat ini di desa saya di Kabupaten Madiun sedang musim menanam padi. Panen baru saja usai sekitar satu bulan yang lalu. Hasil panen tahun ini kurang bagus karena serangan tikus yang tak terbendung. Â Bahkan banyak yang tak panen sama sekali.
Alhamdulillah saat ini sudah menanam padi lagi. Segarnya udara disawah dan angin menghembus sepoi  membuat daun-daun padi yang baru ditanam meliuk-liuk riang.  Hati sangat damai melihatnya. Apalagi hati petani si empunya sawah. Senyum mengembang dan hati bahagia karena sudah selesei menanam bibit padi.
Harapan untuk memanen hasil padi yang banyak tetap mereka tanamkan. Tidak peduli kendala, hambatan dan gangguan dari hama atau realita yang harus dihadapi misal mahalnya harga pupuk. Belum lagi naiknya harga solar untuk mesin diesel yang digunakan untuk mengairi sawah. Pada jaman dahulu sungai-sungai masih mengalir dan bisa untuk mencukupi sawah.
Saat ini petani harus memompa dari sumur atau menggunakan sibel. Bila membeli solar untuk diesel, mereka harus membawa surat keterangan dari desa yang menerangkan bahwa pembeli tersebut menggunakan solar untuk usaha pertanian. Kalau tidak membawa surat keterangan pasti tidak dilayani oleh petugas pertamina.
Bagaimanapun, petani merasa puas bila sawahnya sudah tertanami. Pada jaman dahulu setelah musim tanam padi selesei, para petani akan membuat makanan khas yaitu jenang sumsum.Â
Kenapa jenang sumsum? Filosopinya jenang sumsum untuk memulihkan tenaga setelah menggarap sawah mulai dari menebar benih, mencangkul, meratakan tanah dengan mesin luku atau traktor sampai menanam. Tenaga petani yang terkuras dipercaya akan pulih dengan mengkonsumsi jenang sumsum.
Itu tradisi pada jaman dahulu. Saat ini tidak ada lagi yang membuat jenang sumsum. Saat ini bila badan letih karena bekerja disawah maka akan diobati dengan minum jamu, pijat atau minuman berkhasiat misalnya STMJ. Atau makan makanan yang enak. Ada juga yang mengadakan rekreasi ke tempat wisata secara bersama-sama. Refreshing setelah capek mengerjakan sawah.
Banyak pula tradisi lama yang kini tidak ada lagi terkait dengan hasil padi. Dahulu bila padi sudah mulai menguning, petani akan melakukan tradisi yaitu methil. Methil artinya memetik. Pada masa ini padinya belum masak namun bulirnya sudah menguning dan berisi. Beberapa saat lagi baru bisa dipanen.Â
Ketika padi pada masa inilah diadakan tradisi methil. Petani mengelilingi sawahnya sambil berdoa semoga Mbok Sri ( istilah padi pada jaman dahulu ) selamat sampai panen dan dibawa pulang.
Tradisi lainnya adalah bila padi sudah siap dipanen, petani akan memetik padi sambil membawa nasi tumpeng lengkap dengan sayur pedas, urap serta ayam panggang. Mereka bersyukur karena  padi akan dipanen.
Sebelum padi dipotong, beberapa orang yang memanen dan  yang berada disekitar sawah tersebut akan diundang untuk acara syukuran tersebut.Â
Makan disawah sangat nikmat apalagi bersama-sama dalam suasana bahagia karena panen telah tiba. Kini tradisi itu juga sudah tidak ada. Sekarang waktunya panen, ya panen saja. Tanpa acara spesial menyambut panen tiba.
Begitulah petani, hidup damai didesa namun sangat berjasa. Beras yang mereka hasilkan dikonsumsi oleh orang-orang kota. Segala kendala dalam menanam padi sampai akhirnya menghasilkan beras tak membuat mereka putus asa.Â
Andai mereka putus asa tidak mau menanam padi lagi, mau makan apa kita? Kentang, roti, atau makan nasi dari beras impor? Namun petani tetap semangat walaupun bertani saat ini sangat berat, yang pernah saya tulis di artikel sebelumnya. setiap musim pasti ada kendala dan gangguanya. Namun mereka tidak jera. Mereka menanam dan menanam. Menanam padi dan menanam harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H