Aku Mimi, kawan seseorang yang sedang kuceritakan ini. Suatu hari ia mengeluh padaku.
"Mi, aku benci ibuku."
"Lho, kenapa? Tak seharusnya kau benci pada orang yang melahirkanmu."
"Ibuku jorok."
"Husss! Jangan pernah lagi kau katakan itu. Bahkan jika orang tua kita kafir pun kita tetap harus berbuat baik padanya."
"Salah siapa, Mi? Kemaren teman-teman asrama bergosip di sebelah kamarku. Mungkin sengaja agar aku dengar. Mereka bilang membuang pembalut tanpa dibungkus itu menjijikkan. Masih ada darahnya. Katanya, apa aku tidak diajari ibuku?
Ibuku memang begitu, Mi. Tak pernah keberatan jika aku melakukan yang sama."
"Humm memang menjijikkan. Anggap saja adaptasi hidup di asrama. Hidup dengan orang berbeda dengan hidup di rumah sendiri. Di sini kita harus memperhatikan kenyamanan orang lain."
"Ibuku memang jorok, Mi."
"Tak usah menyalahkan ibumu."
"Kenapa ibuku tak mengajari, Mi. Aku baru tahu kalau itu jorok."
"Bukan ibumu yang jorok."
"Lantas apa aku yang jorok? Aku begini karena ibu yang mengajariku."
"Begini, Lastri (biar kau tahu namanya Lastri). Tak ada orang tua yang sempurna. Ibumu pasti berusaha memberi dan mengajari yang terbaik buatmu.
Manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Waktu kecil kita memang diajari oleh orang tua, tapi ketika dewasa kita lah yang memilih jalan. Kita yang memilih apa yang harus dipertahankan, apa yang harus diubah. Lingkungan mana yang harus ditinggalkan, lingkungan mana yang baik untuk hidup kita.
Semua tergantung diri sendiri, Lastri. Bukan salah ibumu."
"Mi, pembahasanmu jadi panjang lebar."
"Tapi mengena kan?"
"Ya, Mi. Terima kasih."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H