Jangan tanya untuk prosesi ziarah, rangkaian ini jadi menu wajib bagi nisan. Proses lainnya, seperti Maulid Nabi, sambutan Haji, mandi-mandi (seperti mitoni), bapalas (memberi nama bayi), sunatan, perkawinan, dan lain-lain sudah adatnya menggunakan kembang bakarang.
Perubahan
Sayang beribu saying, pohon kembang sudah banyak melayang. Sejak beberapa tahun belakangan, variasi bahan semakin sedikit bahkan hilang. Ini terjadi di kawasan perkotaan Kotim.
Alih fungsi dan persepsi nilai lahan turut berperan dalam hilangnya beberapa jenis bahan seperti kenanga besar atau jenis Odorta. Sampai awal tahun 2000-an, kembang bakarang menggunakan kenanga ini masih bisa ditemukan. Masa kini, sudah tidak ada lagi. Begitu juga dengan cempaka kuning. Sukar.
Kedua pohon tersebut memang menuntut lahan yang luas. Ini karena batang pohonnya akan tumbuh besar setelah bertahun-tahun. Akarnya pun bisa muncul ke permukaan tanah.
Banyak generasi yang meratakan halaman rumah, menebang pohon bunga yang dulu digunakan oleh keluarganya. Menanam pohon dianggap kurang menguntungkan serta menuntut perawatan, apalagi kalau daunnya banyak yang luruh. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan matapencaharian.
Masih Ada Harapan
Tinggi harga dan kesulitan mengakses bahan membuat beberapa pengrajin menyediakan lahan tersendiri untuk kebun bunga. Halaman rumah digunakan untuk menanam pandan, bunga jarum, nusa indah, mawar, terompet, atau kenanga keriting. Perawatan tanaman tersebut terbilang mudah dengan pertumbuhan yang cepat. Pemilik pohon dapat menjual bunga-bunganya ke pembuat. Ini menjadi sumber pendapatan tersendiri.
Mereka yang tinggl jauh dari kawasan perkotaan menanami kebunnya dengan cempaka kuning, putih, maupun kelapa sebagai sumber punduhan. Bahan-bahan ini kemudian dijual ke kota dengan harga tinggi.
*Silahkan dikutip asal menyebut sumbernya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H