“Ada dilema tersendiri memang dalam beberapa hal, terutama dalam pemenuhan kebutuhan, masyarakat Sebatik lebih banyak bergantung hidup pada Negeri jiran Malaysia ketimbang membeli barang-barang dari Indonesia yang notabene dari segi kualitas dan harga lebih bagus dan lebih murah dari Malaysia.” ungkap AKP Wisnu Bramantio, Kepala Polsek Sebatik Timur.
Sebagai contoh Wisnu mengemukakan sebuah perbandingan menarik mengenai harga bahan bakar di perbatasan. Ia menyoroti bahwa bensin yang berasal dari Malaysia lebih mudah didapatkan dan dijual dengan harga lebih murah sekitar Rp 10.000 per liter, sementara bensin dari Indonesia dipasarkan dengan rentang harga Rp 13.000 hingga Rp 15.000 per liter, dengan begitu masyarakat pasti lebih memilih yang murah apalagi ditambah kualitasnya lebih bagus.
Perbedaan harga yang signifikan ini mencerminkan dinamika ekonomi yang unik di wilayah perbatasan. Hal ini tergambar bahwa masyarakat Sebatik sering kali lebih mengandalkan perdagangan dan bahkan layanan kesehatan dari Malaysia. Rumah sakit di Tawau, Sabah, menjadi tujuan utama warga Sebatik yang membutuhkan perawatan medis yang lebih baik daripada yang tersedia di wilayah Indonesia. Kondisi ini menimbulkan dilema nasionalisme bagi sebagian orang. Di satu sisi, mereka bangga menjadi bagian dari Indonesia, namun di sisi lain, mereka merasa diabaikan oleh negara.
Di sektor pendidikan, terdapat pula anak-anak dari wilayah Indonesia yang memilih untuk bersekolah di Malaysia karena fasilitas yang lebih memadai. Di sinilah terlihat bagaimana identitas ganda terbentuk, di mana anak-anak tumbuh dengan budaya dan pendidikan dua negara. Mereka mungkin berbicara dalam dua bahasa dan merasa nyaman di dua dunia, namun mereka juga tumbuh dengan kesadaran akan realitas politik yang membagi mereka.
Nasionalisme di Ujung Nusantara
Kehadiran perbatasan yang hampir tidak terasa di kehidupan sehari-hari warga Sebatik memberikan sebuah refleksi tentang bagaimana konsep nasionalisme diuji di wilayah-wilayah perbatasan. Bagi warga Sebatik, menjadi bagian dari Indonesia bukan hanya soal mengibarkan bendera Merah Putih setiap 17 Agustus, tetapi juga soal menghadapi tantangan hidup di daerah yang sering kali terabaikan oleh pusat pemerintahan.
Namun, meskipun terasa jauh dari pusat kekuasaan, rasa kebanggaan terhadap Indonesia tetap mengakar kuat. Banyak warga Sebatik yang bangga dengan identitas keindonesiaan mereka dan menolak pindah ke Malaysia meskipun secara ekonomi dan infrastruktur, kehidupan di sisi Malaysia mungkin lebih mudah. Bagi mereka, Indonesia bukan hanya sebuah negara, tetapi juga rumah dan tanah air yang harus dijaga.
Di sisi lain, negara juga menyadari pentingnya menjaga wilayah-wilayah perbatasan seperti Sebatik. Pemerintah Indonesia telah meningkatkan upaya untuk memperbaiki infrastruktur di pulau ini, dari pembangunan jalan, jembatan, hingga penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Pembangunan pos-pos TNI di perbatasan juga merupakan upaya untuk menjaga kedaulatan Indonesia di pulau tersebut.
Geopolitik dan Tantangan Masa Depan
Selain tantangan kehidupan sehari-hari, Sebatik juga memiliki peran strategis dalam konteks geopolitik. Pulau ini berada dekat dengan jalur perdagangan internasional yang ramai dan menjadi titik penting dalam menjaga kedaulatan maritim Indonesia. Kegiatan patroli laut sering dilakukan oleh TNI AL untuk memastikan bahwa wilayah perbatasan ini tetap aman dari ancaman penyelundupan, pencurian ikan, dan aktivitas ilegal lainnya.
Namun, kehadiran negara tetangga yang berbagi pulau dengan Indonesia tidak selalu menimbulkan ancaman. Sebaliknya, hubungan yang terjalin antara masyarakat di kedua sisi Sebatik justru sering kali menjadi contoh harmoni lintas batas. Di sini, identitas sebagai warga Sebatik kadang-kadang lebih menonjol daripada identitas nasional, meskipun pada momen-momen tertentu, nasionalisme tetap menjadi faktor penting.