Mohon tunggu...
Ummul Mukadas
Ummul Mukadas Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

cuma hobi nulis tapi bukan penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keterkaitan Masyarakat Desa Golo Riung dengan Ritual "Waeng Wawi"

18 Desember 2024   18:22 Diperbarui: 23 Desember 2024   19:46 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1.1 Penulis mendatangi langsung kediaman Bapak Ilham Guntur, selaku Kepala Desa Golo Riung (Sumber gambar: dokumentasi pribadi penulis)

Komunikasi ritual merupakan bentuk interaksi sosial yang berfungsi memenuhi kebutuhan individu sebagai anggota masyarakat, serta merefleksikan hubungan manusia dengan alam semesta. Partisipasi individu dalam komunikasi ritual mengindikasikan komitmen yang kuat terhadap keluarga, suku, bangsa, ideologi, atau agama. Bentuk-bentuk komunikasi ritual sangat beragam, meliputi upacara pernikahan, siraman, ibadah (shalat, misa, pembacaan kitab suci), upacara pra-panen, serta ritual dalam konteks olahraga dan sebagainya. Dalam banyak bentuk komunikasi ritual, individu akan menggunakan simbol-simbol verbal maupun nonverbal. Contoh komunikasi ritual lainnya meliputi ibadah (shalat, misa, pembacaan kitab suci), perayaan keagamaan (Lebaran, Paskah), serta ibadah haji dan umrah. 

Ritual merupakan serangkaian tindakan simbolik yang dilaksanakan dengan tujuan tertentu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "ritual" berkaitan erat dengan ritus atau upacara keagamaan. Kamus ilmiah populer juga mendefinisikan ritual sebagai rangkaian tindakan yang mengikuti tata cara upacara suci. Pelaksanaan ritual seringkali didasarkan pada ajaran agama atau kepercayaan kelompok tertentu. Aktivitas ritual umumnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi suatu komunitas dan dianggap sakral sehingga tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Tradisi ritual yang berkembang merupakan wujud rasa syukur atas berbagai karunia Tuhan yang disediakan di lingkungan mereka. Masuknya agama-agama baru kemudian tidak lantas menghapus tradisi-tradisi tersebut, justru malah memperkaya tradisi ritual dengan masuknya berbagai unsur-unsur agama ini. Tradisi-tradisi ritual yang berbaur dengan unsur-unsur agama ini seperti hendak menguatkan filosofi; siapa menyayangi yang di bumi, maka akan disayang Yang di Langit.

Setiap wilayah, bahkan setiap bangsa, memiliki kekhasan budaya yang dipengaruhi oleh sejarah, agama, dan faktor-faktor lainnya. Salah satu contohnya adalah keberadaan ritual adat di Riung, Nusa Tenggara Timur, yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat setempat. Masyarakat Desa Golo Riung, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, memiliki tradisi unik bernama "Waeng Wawi." Ritual ini dilaksanakan sebagai upaya untuk memohon hujan dan telah menjadi warisan budaya yang tak ternilai bagi masyarakat setempat. Ritual Waeng Wawi merupakan upacara adat masyarakat Desa Golo Riung yang bertujuan untuk meminta turunnya hujan. Selain itu, ritual ini juga telah menjadi tradisi turun-temurun di kalangan petani sebagai bentuk permohonan agar hasil panen mereka melimpah. Masyarakat setempat meyakini bahwa komunikasi dengan kekuatan supranatural dapat dilakukan melalui ritual dan tradisi, seperti ritual meminta hujan atau Waeng Wawi. Ritual ini umumnya dilaksanakan pada awal tahun, antara bulan Januari hingga Februari, ketika musim kemarau panjang mengancam keberlangsungan pertanian. Air, sebagai sumber kehidupan, menjadi fokus utama dalam ritual ini, mengingat peranannya yang vital bagi kelangsungan hidup manusia dan keberhasilan pertanian. Menurut informan yang juga merupakan kepala desa Golo Riung Ilham Guntur sapaannya, beliau menjelaskan bahwa "Sejauh ini memang pelaksanaan Ritual Waeng Wawi patokannya ada pada tanda-tanda alam, kalau sudah masuk musim tanam tapi hujan belum juga turun ya harus ada Waeng Wawi. Dalam Ritual Adat Waeng Wawi sebenarnya harus ada kerja sama dari semua kalangan, karena ini menyangkut kehidupan masyarakat kedepannya. Kami dari pihak pemerintah desa selalu berupaya agar ritual ini tidak hilang karena ini merupakan warisan leluhur, nenek moyang kita yang harus terus dilestarikan sampai kapanpun"

Inisiasi pelaksanaan Ritual Tradisi Waeng Wawi berakar dari keresahan masyarakat terhadap kondisi kekeringan yang berkepanjangan. Diskusi informal antarwarga, terutama para petani, menjadi wadah bagi mereka untuk menyampaikan kekhawatiran dan mencari solusi. Ide untuk melaksanakan ritual kemudian muncul dan diajukan kepada tokoh adat serta anggota Suku Niki, yang memiliki peran penting dalam menyediakan Waning (gendang) yang merupakan benda sakral dalam pelaksanaan ritual. Proses ini biasanya diawali dengan pendekatan langsung kepada tokoh-tokoh tersebut, seperti yang dilakukan oleh informan pertama, Bapak Hamsi Rang. Setelah berdiskusi dengan informan pertama, masyarakat kemudian melibatkan tokoh adat, tokoh agama, pemuda, dan pemerintah desa untuk membahas lebih lanjut pelaksanaan Ritual Tradisi Waeng Wawi. Setelah mencapai kesepakatan, dibentuklah panitia yang bertugas merencanakan segala aspek ritual, mulai dari penentuan waktu pelaksanaan hingga perincian konsep acara dan jumlah tamu undangan. Pembentukan panitia ini melibatkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk tokoh adat, pemuda, dan pemerintah desa.

 Masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, secara bersama-sama melaksanakan ritual ini sebagai bentuk permohonan dan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, para leluhur, serta arwah nenek moyang. Prosesi penyembahan dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan melakukan perjalanan bersama menuju sumber mata air sambil membawa sesajen berupa hidangan khas daerah Riung, seperti lawar dan nasi bambu, ada juga tuak atau moke yang merupakan minuman tradisional. Masyarakat Desa Golo Riung meyakini bahwa pelaksanaan upacara Waeng Wawi akan memfasilitasi komunikasi dengan alam semesta, sehingga tanah tempat mereka tinggal dan lahan pertanian warga akan menjadi subur berkat curahan hujan.  Upacara ini umumnya dilaksanakan di tempat yang dianggap sakral, dengan para petani berkumpul sambil membawa sesajen berupa nasi bambu, sirih pinang, rokok tembakau dan kopi hitam. Seorang tokoh adat yang disebut "Dor" akan memimpin upacara, memanjatkan doa, serta melantunkan nyanyian dan pujian dalam bahasa daerah Riung. Lirik-lirik tersebut mengandung makna permohonan dan penghormatan kepada leluhur, nenek moyang, serta kekuatan spiritual yang diyakini. Ritual Tradisi Waeng Wawi merupakan warisan budaya masyarakat petani Desa Golo Riung yang memiliki makna simbolik sebagai perayaan panen, perdamaian, dan siklus pertanian. Sebagai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, Waeng Wawi melibatkan seluruh anggota masyarakat dan memiliki makna mendalam yang mencakup penghormatan terhadap leluhur, hubungan sosial antar warga, serta nilai-nilai universal, meskipun bentuk ritualnya tampak sederhana. 

Gambar 2.1 Masyarakat Desa Golo Riung pada saat melakukan upacara ritual Waeng Wawi (Sumber gambar: Zainal Solihin)
Gambar 2.1 Masyarakat Desa Golo Riung pada saat melakukan upacara ritual Waeng Wawi (Sumber gambar: Zainal Solihin)

Sebagian besar penduduk Desa Golo Riung menganut agama Islam, sedangkan sisanya beragama Katolik. Hal ini tercermin dari keberadaan Masjid dan Gereja yang telah berdiri sejak sekitar tahun 1916 Masehi, berdampingan secara harmonis. Fenomena ini mengindikasikan bahwa masyarakat Desa Golo Riung tidak hanya menjunjung tinggi warisan leluhur, tetapi juga memiliki komitmen yang kuat terhadap ajaran agama masing-masing. Sebagai contoh, umat Islam di desa ini diperkenankan mengganti darah babi dalam Ritual Tradisi Waeng Wawi dengan darah hewan halal seperti ayam, kambing, atau sapi. Praktik ini dianggap sah dan tidak mengurangi esensi dari ritual tersebut menurut sejumlah tokoh masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh salah satu informan yang merupakan anak cucu dari keturunan Suku Niki yakni Ham Rang, beliau menjelaskan bahwa "Jadi memang awal mula kenapa ritual ini dinamakan dengan Ritual Waeng Wawi karena pada saat upacara ritual dilakukan ada satu ekor babi yang kalau dalam bahasa Riung babi itu kan Wawi dan air itu Waeng yang berarti air babi atau darah babi yang nanti darah babi tersebut akan digunakan sebagai syarat dalam ritual. Tapi seiring berjalannya waktu, masyarakat Desa Golo Riung ada yang masih menggunakan darah babi, ada juga yang tidak, tergantung ajaran agamanya masing-masing. Menurut sebagian tokoh, sah-sah saja dan tidak  mengurangi nilai dalam Ritual Waeng Wawi. Selain itu yang menjadi bagian penting dari ritual adalah kehadiran atau adanya ketua adat yang biasa disebut Dor karena tanpa mereka ritual tidak bisa dilaksanakan. Cara masyarakat berkomunikasi dengan roh leluhur serta nenek moyangnya biasanya dituangkan dalam bentuk sesajen seperti makanan serta minuman yang nantinya akan dibawa pada saat ritual atau bisa juga sesajen-sesajen tersebut ditaruh di beberapa titik mata air atau di tempat-tempat yang telah disakralkan."

Aspek lain yang menonjol dalam Ritual Tradisi Waeng Wawi adalah interaksi simbolis dengan alam semesta. Masyarakat setempat menganut kepercayaan bahwa alam memberikan tanda-tanda atas segala aktivitas manusia. Ketika musim tanam tiba namun curah hujan berkurang dan suhu udara meningkat, warga desa akan menginisiasi musyawarah untuk meminta nasihat Bapak Hamsi Rang, seorang tokoh adat dari Suku Niki. Masyarakat akan menyampaikan permohonan agar segera dilaksanakan Ritual Tradisi Waeng Wawi sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan para leluhur. Atas dasar permohonan tersebut, warga desa, tokoh masyarakat, dan pemerintah desa akan mengadakan musyawarah untuk menentukan waktu pelaksanaan ritual.

Proses komunikasi sosial yang berlangsung dalam Ritual Tradisi Waeng Wawi memiliki kesamaan dengan beberapa ritual besar lainnya dalam adat dan budaya Riung, seperti Ritual Adat Rogho Dange dan Ritual Adat Rame Rentok. Jika dilihat dari urutan pelaksanaannya dalam konteks adat dan budaya Riung, Ritual Tradisi Waeng Wawi menempati posisi pertama, diikuti oleh Ritual Adat Rogho Dange pada urutan kedua, dan Ritual Adat Rame Rentok pada urutan ketiga. Ketiga ritual besar ini memiliki persamaan dan juga perbedaan yang telah dideskripsikan oleh informan yakni Ibrahim Rang yang merupakan salah satu tokoh adat di Desa Golo Riung, beliau menjelaskan bahwa "Ritual Adat Waeng Wawi, Rogho Dange dan Rame Rentok merupakan ritual adat rutinan yang dilaksanakan setiap tahunnya. Perbedaannya itu ada pada waktu pelaksanaan dan istilahnya saja karena pada dasarnya proses yang ada dalam ketiga ritual tersebut hampir sama, kalau untuk Ritual Adat  Waeng Wawi sendiri adalah ritual yang dilaksanakan duluan sebelum Ritual Adat Rogho Dange dan Rame Rentok. Jadi urutannya Waeng Wawi dulu upacara untuk meminta hujan, setelah itu baru Rogho Dange untuk meminta permohonan agar tanamannya dapat berkembang dengan baik dan mendapatkan hasil yang maksimal, sedangkan Rame Rentok atau yang dikenal dengan istilah lain adalah Keda Rame ini yang artinya pesta para petani atau pesta untuk merayakan hasil panen sekaligus menjadi acara syukuran untuk para petani"

Gambar 3.1 Masyarakat Desa Golo Riung dalam pelaksanaan Ritual Waeng Wawi (Sumber gambar: Zainal Solihin)
Gambar 3.1 Masyarakat Desa Golo Riung dalam pelaksanaan Ritual Waeng Wawi (Sumber gambar: Zainal Solihin)
Gambar 4.1  Pemimpin upacara ritual Waeng Wawi (Dor) (Sumber gambar: Zainal Solihin)
Gambar 4.1  Pemimpin upacara ritual Waeng Wawi (Dor) (Sumber gambar: Zainal Solihin)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun