1. Bahaya di Tingkat Konsumen
Sudah sejak lama, petasan menjadi tradisi masyarakat Indonesia selama Bulan Ramadhan hingga hari raya tiba. Meskipun bukan bagian dari syariat Islam, yang berarti tidak ada kewajiban untuk melaksakannya, nyatanya kegiatan menyalakan petasan masih eksis hingga saat ini.Â
Petasan masih menjadi incaran anak-anak hingga remaja untuk menyemarakkan datangnya bulan puasa. Tidak heran, penjual petasan pun menjamur pada momen itu.
Saat kecil, di kampung halaman saya, merakit petasan di bulan puasa bukanlah hal yang aneh. Sebagian besar anak laki-laki bisa melakukannya.Â
Dengan bahan baku bubuk mesiu, kertas bekas, dan sumbu, mereka bisa membuat petasan alias mercon dengan jumlah dan ukuran sesuka hati. Halaman rumah warga bisa penuh dengan potongan kertas yang berserakan hasil dari ledakan petasan tersebut.Â
Masih teringat jelas teman SD yang kehilangan jarinya karena petasan, yang membuat saya sedikit trauma. Namun  sepertinya itu tidak membuat gentar generasi muda, terbukti terakhir mudik lebaran ke rumah nenek, tradisi tersebut masih lestari.
Bermain petasan tentunya merupakan kegiatan yang berbahaya karena menggunakan bahan kimia yang mudah meledak. Meskipun bubuk mesiu tergolong bahan peledak dengan daya ledak rendah, tapi sangat sensitif dengan tekanan apalagi api.Â
Oleh karenanya, butuh ketangkasan dan kewaspadaan saat menyalakannya. Sebaiknya anak-anak yang bermain petasan, selalu dalam pengawasan orang tua.
2. Bahaya di Tingkat Produsen dan Distributor
Meningkatnya penjualan petasan tentu menjadi bisnis dadakan bagi sejumlah kalangan. Bukan hanya pabrik resmi di Kawasan industri, produsen-produsen kecil tak berizin pun berlomba-lomba merakit petasan atau sering disebut mercon dengan jumlah yang besar.Â