Sebelum saya membahas tentang tax amnesty di era soekarno dan soeharto terlebih dahulu kita harus mengetahui atau membahas sedikit tentang definisi  tax amnesty.
Tax amnesty atau amnesty pajak adalah pengampunan atau pengurangan pajak terhadap properti yang di miliki oleh perusahaan yang akan segera di atur dalam undang undang pengampunan nasional. Hal hal yang berkaitan dengan draft undang undang tersebut dikatakan jika pengampunan pajak adalah penghapusan pajak terhutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana pada bidang perbajakan, maupun sanksi pidana tertentu yang di haruskan membayar dengan uang tebusan. Pengampunan pajak ini objeknya bukan hanya yang di simpan di luar negei, tetapi juga yang berasal dari dalam negeri yang laporanya tidak di berikan secara benar.
Pengampunan pajak (tax amnesty) sebenarnya pernah berlaku di Indonesia, tepatnya di era pemerintahan mendiang Presiden Soekarno dan Soeharto. Namun, kebijakan itu tidak berlangsung lama. Upaya pemerintah memberikan insentif berupa pengampunan pajak atau tax amnesty menimbulkan kontroversi. Namun pihak pemerintah tetap yakin tax amnesty bakal menimbulkan dampak positif bagi negara. Tujuan tax amnesty itu secara harfiah untuk membuat orang jadi jujur. Karena mereka akan melaporkan hartanya yang enggak ada di SPT.
Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, selain mendorong penerimaan negara lewat pajak, tax amnesty juga memberikan dampak psikologis bagi penunggak pajak untuk berubah lebih jujur dalam pelaporan SPT.
Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan tax amnesty pernah diberlakukan pada tahun 1964 dan 1984. Tapi tidak bisa berkelanjutan karena ada peristiwa besar dan perubahan sistem.
Tahun 1964 itu bertujuan mengembalikan dana revolusi dengan menggunakan Keppres (Keputusan Presiden). Kenapa tidak berhasil? Waktu itu undang-undang disahkan 1964, namun tahun 1965 ada peristiwa G30S PKI," kata Ken saat ditemui di Balai Kartini Jakarta, Selasa 3 Mei 2016.
Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi, menjelaskan bahwa Tragedi Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 membuat situasi politik maupun perekonomian nasional tidak kondusif untuk menjalankan tax amnesty.
Pengampunan pajak kemudian diberlakukan lagi di pemerintahan Presiden Soeharto, yakni pada tahun 1984. Namun, lagi-lagi, tidak berlangsung lama karena adanya perubahan sistem pungutan pajak, dari official-assessment (besaran pajak terutang ditentukan oleh pemerintah) ke self-assesment (besaran pajak terutang sepenuhnya ditentukan wajib pajak).
Dengan adanya perubahan itu, Ken menduga hal ini yang menjadi salah satu alasan para wajib pajak tidak melaporkan asetnya dengan benar kepada negara.
Dalam syarat SPT (surat pemberitahuan tahunan) tidak ada syarat yang mengatakan mengisi SPT dengan jujur. Tidak ada. Bagi saya, mengemplang itu tidak ada. Kalau lupa (melaporkan hasil aset dengan benar) itu banyak," ujar di Ken menegaskan, rancangan undang undang tax amnesty tengah digodok pemerintah saat ini memiliki tujuan yang jauh lebih komprehensif dibandingkan yang sebelumnya. Salah satunya, yakni repatriasi modal.
Menurut dia, jika dana yang 'diparkir' di luar negeri bisa masuk ke Indonesia melalui kebijakan tax amnesty, maka investasi dan penerimaan negara jangka pendek pun bisa meningkat.
Kalau investasi masuk, bisa menyerap tenaga kerja, meningkatkan daya beli, dan menciptakan wajib pajak baru.
Pasalnya tax amnesty memiliki efek domino yang cukup besar. Seperti mendorong pemilik dana untuk berinvestasi yang berujung peningkatan jumlah lapangan kerja.Dengan adanya tax amnesty atau pengampunan pajak dapat memberikan manfaat untuk beberapa pihak, baik itu untuk pemerintah, pengembang maupun untuk insvestor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H