Mohon tunggu...
Pena Siyasi Muslimah
Pena Siyasi Muslimah Mohon Tunggu... Lainnya - Tanda Kasih untuk Ummat

Beropini melalui goresan pena

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Larangan Mudik di Tengah Penerapan PSBB

3 Mei 2020   09:51 Diperbarui: 3 Mei 2020   09:56 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya." (HR. Al-Bukhri dan Muslim).

Situasi Ramadan dan Idul Fitri di tahun ini, sangatlah jauh berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Seluruh umat Islam harus  menjalani puasa Ramadan dan merayakan Idul Fitri di tengah pandemik Covid-19 yang telah menyebar ke 210 negara, tak terkecuali Indonesia. 

Suasana Ramadan tak kan lagi semarak dengan aktivitas ibadah yang sarat dengan berkumpulnya banyak orang (berjamaah), seperti buka puasa bersama, tarawih di masjid, pesantren kilat anak-anak dan remaja, dan sebagainya. 

Tahun ini, semua aktivitas ibadah Ramadan dilakukan di rumah. Tak dapat dipungkiri pula, ada satu hal yang sangat dirindukan oleh kaum urban yang biasanya dilakukan minimal setahun sekali, yaitu aktivitas mudik ke kampung halaman untuk berjumpa dengan orang tua dan sanak-saudara. Lalu, bagaimana dengan aktivitas mudik Lebaran tahun ini? Apakah tetap akan dilakukan?

Survey yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC) kepada 2.437 responden di 34 provinsi,di antaranya 12% responden menyatakan akan tetap mudik meskipun dalam kondisi pandemi Covid-19. Dengan kata lain, diperkirakan 3 juta orang akan mudik Lebaran. Sementara itu, 4%  dari responden menyatakan telah mudik terlebih dahulu. 

Kelompok yang mudik awal didominasi oleh kelompok mahasiswa/pelajar sebanyak 39,4%, diikuti 23,1% karyawan swasta. Tidak sedikit, kelompok yang mudik awal berasal dari kalangan pedagang kecil/kaki lima, karyawan toko, warung makan, dan buruh pabrik (sumber).

Survey tersebut dilakukan sebelum penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).  Khususnya bagi pemudik awal, alasan yang dikemukan  oleh kalangan pelajar/mahasiswa karena kebijakan sekolah/kampus untuk belajar secara online (dalam jaringan/daring), karyawan swasta dengan kebijakan WFH (Work From Home) atau karena dirumahkan/PHK, atau sepinya pelanggan sehingga memutuskan untuk pulang kampung. 

Setidaknya dalam pikiran mereka, di kampung (daerah asal) tidak mengeluarkan biaya kontrakan dan biaya hidup yang besar sehingga pengeluaran dapat diminimalisasi meskipun dengan makan seadanya di kampung halaman.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan tradisi mudik. Namun, dalam situasi pandemi saat ini tindakan mudik bisa memicu penyebaran virus Covid-19 menjadi lebih luas. 

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya mudik Lebaran, Pemerintah Daerah (Pemda) sudah menyiapkan berbagai strategi untuk mencegah arus mudik dari kota ke daerah, baik di dalam pulau maupun antar pulau. 

Seperti pernyataan pengamat kebijakan publik, Danang Girindrawardana, bahwa mobilisasi penduduk yang berjumlah besar dari satu daerah ke daerah lain berpotensi merusak konstruksi kesehatan ekonomi dan psikososial secara lebih massif di daerah (sumber). 

Hal ini senada dengan pernyataan Agus Taufik, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), bahwa transportasi dan mobilisasi pemudik berpotensi menyebarkan wabah COVID-19 (sumber).

Menghadapi tantangan arus mudik pada Lebaran 2020, Pemerintah Pusat sudah mengeluarkan berbagai kebijakan, di antaranya larangan mudik bagi ASN, pegawai BUMN, TNI dan Polri, serta menggeser cuti bersama di akhir tahun. Penggeseran tersebut dengan alasan di antaranya untuk menumbuhkan sektor ekonomi pariwisata (sumber). 

Sementara untuk warga lain, berupa himbauan saja dari pemerintah untuk tidak mudik Lebaran tahun ini. Tentu saja, kebijakan sekedar "himbauan tidak mudik" ini sempat menuai polemik di tengah-tengah masyarakat karena dianggap tidak tegas. Diungkapkan oleh  Rusli, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bahwa pelarangan mudik yang dihimbau oleh pemerintah bersifat tidak tegas (sumber)

Walaupun pemerintah telah mempersiapkan berbagai kebijakan di antaranya protokol tetap (protap) kesehatan mudik, penyediaan tempat isolasi, mempersiapkan fasilitas kesehatan, tenaga medis,  dan pembentukan Gugus Covid-19 di level desa, tetapi kebijakan tersebut tetap saja menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak. 

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat (Pemdaprov Jabar) bahkan sampai berkoordinasi dengan MUI Jabar mengeluarkan fatwa mengenai keharaman mudik  selama pandemik. Hal ini dilakukan berdasarkan atas temuan beberapa kasus di daerah, ada warga usia lanjut menjadi positif Covid-19 setelah dikunjungi oleh anaknya yang berasal dari zona merah. 

Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi pun melakukan survei kepada para Kepala Desa (Kades) berkaitan dengan mudik Lebaran 2020. Hasil survey tersebut menunjukkan 89,75 % Kades tidak setuju warganya mudik, di antaranya ada 88.38% menyebutkan karena alasan kesehatan (sumber). Meskipun demikian, tidak dipungkiri masih ada desa yang tetap menerima kedatangan pemudik dengan alasan sosial.

Larangan mudik secara resmi sudah diberlakukan per 24 April 2020. Sayangnya, sebelum larangan itu dikeluarkan, arus mudik secara besar-besaran sudah terjadi. Hal ini disebabkan tidak serentaknya penerapan kebijakan PSBB di setiap daerah, sehingga memungkinkan terjadinya pemindahan epicenter baru di wilayah lain (sumber).

Keterlambatan dan ketidaktegasan larangan mudik, disinyalir karena pemerintah terlalu memperhatikan aspek ekonomi bukan perlindungan masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (sumber). 

Bahkan pengamat lain seperti Defny Holidin dari Universitas Indonesia menilai pemerintah gamang (ragu) dalam memutuskan larangan atau kebolehan aktivitas mudik 2020 ini. Masih menurut Defni bahwa terdapat tiga alasan kegamangan tersebut. Pertama, disorientasi kebijakan dan kegagapan koordinasi program dalam kabinet. 

Kedua, kegamangan antara pandemik dan pertumbuhan ekonomi. Bagi pemerintah, persoalan mudik bukan saja dilihat dari fenomena sosial, akan tetapi potensi ekonomi berupa mobilisasi persebaran sumber daya aset dan kapital masyarakat. Hal tersebut terjadi karena pemerintah dihantui oleh potensi krisis ekonomi setelah pandemik ini. Logika yang dibangun oleh pemerintah bahwa penanganan pandemik dianggap dapat menghalangi pertumbuhan ekonomi. 

Ketiga, kecenderungan untuk menghindari tanggungjawab konstitusional di masa pandemik. Pemerintah dianggap tidak mau menanggung resiko sosial-ekonomi apabila tegas melarang mudik warga. 

Padahal pengereman aktivitas ekonomi sementara waktu akan mempersingkat waktu penanganan Covid-19 dibandingkan menggunakan solusi yang tidak konkret  selama ini (sumber). Bahkan dikatakan bahwa anggaran pemerintah hanya cukup untuk 2-3 bulan saja (sumber).

Beberapa fakta dan pernyataan para ahli tersebut semakin menunjukkan kejelasan bahwa kita hidup pada tata aturan yang penuh keraguan dalam menyelamatkan manusia. Harga sebuah nyawa manusia dinilai murah karena masih berpikir untung rugi dalam kacamata ekonomi. 

Uang (materi) menjadi tolak ukur dalam berbagai kebijakan sistem tersebut atau dikatakan kita hidup pada tata aturan sistem politik kapitalis (modal). Padahal, Rasulullah Muhammad saw. pernah bersabda "Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkannya terbunuh seorang mukmin tanpa hak" (HR. Nasa'i).

Larangan mudik bisa menjadi salah satu faktor penghambat penyebaran virus Covid-19, namun ternyata menyisakan persoalan sosial yang tak kalah rumitnya. Rata-rata pemudik adalah orang-orang yang tak punya penghasilan lagi akibat di-PHK atau dirumahkan oleh perusahaan. Ketika mereka dicegah mudik, muncul persoalan ekonomi, bagaimana mereka akan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, sementara di kota tidak ada keluarga atau sanak saudara yang bisa membantu. 

Kebijakan larangan mudik ini juga harus diimbangi dengan tindakan pemerintah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 dari sisi ekonomi. Jika tidak, malah akan menambah persoalan baru, yaitu bencana kelaparan di tengah-tengah masyarakat.      

Mari kita  bercermin pada kepemimpinan seorang Khalifah Umar bin Khattab r.a. saat menghadapi musim paceklik dan kelaparan yang menimpa rakyatnya. Beliau berkorban demi rakyatnya dengan mencukupkan diri hanya makan cuka dan minyak sehingga menyebabkan kulitnya menghitam. Bagi Sang Amirul Mukminin, perut rakyat harus tetap diprioritaskan dalam kondisi kenyang terlebih dahulu dibandingkan dirinya. 

Khalifah Umar bin Khattab r.a. sebagai pemimpin segera membagikan makanan dan uang dari Baitul Mal. Hal tersebut menyebabkan gudang makanan dan kas Baitul Mal menjadi kosong. Amirul mukminin tidak pernah berpikir soal pertumbuhan ekonomi ketika didapati kas Baitul Mal menjadi kosong. Bagi Amirul mukminin yang diutamakan adalah keselamatan rakyatnya. 

Selanjutnya, Sang Khalifah menyurati dua Gubernur (Wali) untuk mengirimkan bantuan ke wilayah yang mengalami musim paceklik. Beliau memastikan jangan sampai ada warga negara yang kelaparan di tengah musibah tersebut. 

Kisah lain yang masyhur dari Sang Khalifah bersama istrinya Ummu Kultsum ra., yaitu menyelamatkan nyawa seorang ibu yang akan melahirkan di tengah perjalananya sebagai musafir. Khalifah Umar bin Khattab  ra. memasak sendiri untuk pasangan suami istri yang tengah menghadapi persalinan. Maasha Allah, semua dilakukan demi menyelamatkan nyawa manusia.

Di samping itu, Islam telah mengajarkan  kepada umatnya untuk saling membantu saudaranya yang ditimpa kesulitan. Bahkan dikatakan tidak beriman seorang muslim apabila didapati tetangganya mengalami kelaparan sementara dirinya dalam kondisi kenyang (H.R. Ath-Thabarani). 

Ajaran Islam yang lain termasuk larangan untuk memasuki wilayah wabah dan larangan untuk ke luar dari wilayah wabah bahkan seorang muslim yang bersabar untuk tetap tinggal di wilayah wabah akan memperoleh pahala seperti pahalanya orang mati yang syahid (HR. Al-Bukhari).

Larangan mudik atau keluar dari zona merah merupakan implementasi ajaran Islam. Dengan demikian, dibutuhkan figur pemimpin yang memperhatikan kebutuhan rakyatnya supaya dia tidak lari dari zona merah karena mencari penghidupan di wilayah lain. 

Ketegasan, ketepatan, kesegeraan pemimpin dalam memutuskan kebijakan sangat dibutuhkan demi menyelamatkan nyawa manusia. Tidak lain dan tidak bukan bahwa figur pemimpin tersebut hanya dalam sistem politik Islam. Wallahu'alam bishshawab. [Agustina Suhardi]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun