Sedih rasanya, tahun ini kaum muslimin berbeda lagi puasa Arafah dan merayakan hari pertama Idul Adha. Beberapa tahun belakangan ini di negeri-negeri kaum muslim kerap terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah. Tak terkecuali di Indonesia juga sering terjadi perbedaan. Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi menjelaskan penetapan 1 Dzulhijjah 1444 H dengan mempertimbangkan hasil hisab posisi hilal dan laporan rukyatul hilal yang telah dilaksanakan di 99 titik di Indonesia.
Beliau menjelaskan kriteria baru Menteri Agama Brune Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) yang menetapkan secara astronomis. Yakni hilal dapat diamati jika bulan memiliki ketinggian minimal tiga derajat dan elongasinya minimal 6,4 derajat. Kesepakatan ini menjadi pedoman empat negara tersebut dalam menetapkan awal bulan Qomariyah. Akhirnya diumumkan bahwa Idul Adha 1444 H jatuh pada 29 Juni 2023.Â
Alhasil, perbedaan hari raya ini menjadi polemik lagi di tengah-tengah masyarakat. Saling sindir dan mengejek sebab mengklaim masing-masing pendapatnya benar tanpa menjelaskan dalil yang digunakan. Seharusnya dalam hal ini dibutuhkan pemimpin yang menghilangkan perbedaan di tengah-tengah masyarakat.
Rukyat hilal secara lokal yang menjadi pedoman dalam penetapan 1 Dzulhijjah. Sehingga besar peluang terjadi perbedaan penentuan bulan baru. Lantas apakah penentuan ini suatu perbedaan (khilafiyah) yang wajar terjadi dan bagaimana Islam menyikapinya?
Sekat Nasionalisme Halangi Kesatuan
Tak bisa dipungkiri, penyebab terjadi perbedaan hari raya di negeri ini karena sekat nasionalisme. Ego masing-masing negara mempertahankan pendapatnya dan meyakini hasil rukyat hilal di negerinya sendiri. Keputusan Amir Mekkah yang memegang otoritas penentuan wukuf Arafah dan hari raya pun akhirnya diabaikan.
Sejarah mencatat bahwa ide nasionalisme ini di masa lalu telah berhasil memecah-belah Negara Islam (Khilafah) menjadi negara kecil-kecil. Sentimen kebangsaan yang terus dihembuskan negara kafir penjajah di tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin mengabaikan predikat yang diberikan Allah bahwa "sesama muslim itu bersaudara". Padahal kaum muslimin ibarat satu tubuh, namun Ikatan kebangsaan menyekatnya. Sejak itulah hingga kini nasionalisme yang diterapkan di negeri-negeri kaum muslimin.
Selama kaum muslimin masih mengadopsi nasionalisme, perbedaan hari raya akan terus terjadi. Paham ini nyata telah memecah dan menghalangi kesatuan kaum muslimin. Sudah selayaknya kaum muslimin meninggalkan paham ini dan mengambil aqidah Islam sebagai ikatan yang sohih (benar). Sebab ikatan Islam terbukti mampu menyatukan kaum muslimin secara global bukan nasionalisme.
Khilafah Menghilangkan Perbedaan PendapatÂ
Sepanjang sejarah peradaban Islam dulu, kaum muslimin tidak pernah mengalami perbedaan dalam perayaan hari raya. Keberadaan Khalifah (pemimpin umat Islam) mampu menghilangkan perbedaan (ikhtilaf) yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Khalifah akan mengadopsi 1 pendapat yang dianggap kuat (rajih) untuk diterapkan.
Hal tersebut terdapat dalam sebuah Kaidah fiqih yang menyatakan "Perintah imam/khalifah menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hasil ijtihad/khilafiyah". Sebab, wajib bagi seorang pemimpin menghilangkan polemik yang dapat merusak kesatuan kaum muslimin.Â