Mohon tunggu...
Abdisita Sandhyasosi
Abdisita Sandhyasosi Mohon Tunggu... Psikolog - Penulis buku solo "5 Kunci Sukses Hidup" dan sekitar 25 buku antologi

Alumni psikologi Unair Surabaya. Ibu lima anak. Tinggal di Bondowoso. Pernah menjadi guru di Pesantren Al Ishlah, konsultan psikologi dan terapis bekam di Bondowoso. Hobi membaca dan menulis dengan konten motivasi Islam, kesehatan dan tanaman serta psikologi terutama psikologi pendidikan dan perkembangan. Juga hobi berkebun seperti alpukat, pisang, jambu kristal, kacang tanah, jagung manis dan aneka jenis buah dan sayur yang lain. Motto: Rumahku Mihrabku Kantorku. Quote: "Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah kesibukan untuk memantaskan diri menjadi hamba yang dicintai-Nya".

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Menunggu Blanggur di Kampungku

5 April 2023   14:05 Diperbarui: 5 April 2023   14:03 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Menunggu Blanggur di Kampungku

Blaaanggr...!!! Bunyi yang mirip suara meriam meletus  itu tiba-tiba menggelegar seakan-akan  memecah langit Surabaya. Anak-anak yang sedang  bermain engkle di sebuah kampung   sambil  menunggu waktu buka  sontak bersorak kegirangan mendengarnya. Aku pun demikian. Karena, tak lama setelah itu adzan Maghrib di masjid kampungku berkumandang. Dan kami pun segera pulang untuk membatalkan puasa.

Ramadan sekian puluh tahun yang lalu. Sekitar pukul 02.00 malam. Beberapa remaja berjalan kaki mengelilingi kampung. Mereka berteriak sambil membunyikan 'klotekan'  untuk membangunkan orang sahur. "Sahuuur! Sahuuur!" Tek, tek, tek! Tek, tek, tek! Sahuuur! Sahuuur! Tek, tek, tek!"

Bunyi  'klotekan"  yang keras itu, membuat aku terbangun. Setelah berhasil melawan kantuk, aku segera pergi ke kamar mandi. Aku mencuci muka. Lalu makan sahur.

Pagi. Kira-kira pukul tujuh. Ibu menyuruhku berbelanja ke Pasar Pacuan Kuda. Ibu memberiku sejumlah uang untuk membeli tempe, cabe rawit, tomat dan bahan sayur sup seperti wortel, kentang dan buncis. Ibu juga menyuruhku membeli blewah. Harganya kalau tak salah  lima puluh rupiah sebuah.

Sorenya.  Aku membantu Ibu memasak di dapur. Menu buka hari ini adalah sayur sup, tempe goreng dan sambal tomat.  Aku yang  mengupas sayurnya dan ibu membumbuinya. 

Menjelang Maghrib. Ibu sudah sibuk  menyiapkan minuman untuk berbuka di meja. Aku membantunya. Kami hendak membuat es blewah. Kali ini kami tidak membuat es cincau hitam. Karena, es cincau hitam memerlukan  sirup gula merah yang direbus dengan daun pandan. Sehingga memakan waktu lama.

Ibu melarutkan gula ke dalam segelas air matang untuk sirup es blewah. Aku memarut blewah memakai parut gobet. Adik laki-lakiku membersihkan es batu yang ia beli di  warung Cak Fulan.

Siapakah Cak Fulan? Cak Fulan adalah agen es batu balok terbesar di wilayah tempat tinggalku. Pelanggannya banyak sekali. Tidak hanya para warga sekitar tetapi juga pemilik warung makanan di beberapa tempat. Pak Fulan sendiri mendapatkan kiriman es batu dari pabrik es batu di Jl. Petojo. Lokasinya dekat fakultas Kedokteran Gigi  Unair.

Setelah selesai membuat es blewah, aku bergabung dengan  anak-anak tetangga. Kami menunggu blanggur sambil bermain. Biasanya kami bermain engkle, gobak sodor, lompat tali atau petak umpet. Sayangnya, mainan tersebut cukup menguras  energi. Sehingga kami memilih  bermain bekel di teras rumah teman.

Tiba-tiba terdengar suara letusan yang sangat keras. "Blaaanggr...!!!" Tanpa ada yang mengomando, kami pun segera bubar. Dan pulang ke rumah masing-masing dengan gembira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun