Mohon tunggu...
Abdisita Sandhyasosi
Abdisita Sandhyasosi Mohon Tunggu... Psikolog - Penulis buku solo "5 Kunci Sukses Hidup" dan sekitar 25 buku antologi

Alumni psikologi Unair Surabaya. Ibu lima anak. Tinggal di Bondowoso. Pernah menjadi guru di Pesantren Al Ishlah, konsultan psikologi dan terapis bekam di Bondowoso. Hobi membaca dan menulis dengan konten motivasi Islam, kesehatan dan tanaman serta psikologi terutama psikologi pendidikan dan perkembangan. Juga hobi berkebun seperti alpukat, pisang, jambu kristal, kacang tanah, jagung manis dan aneka jenis buah dan sayur yang lain. Motto: Rumahku Mihrabku Kantorku. Quote: "Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah kesibukan untuk memantaskan diri menjadi hamba yang dicintai-Nya".

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ramadan dan Lailatul Qadar

4 April 2023   21:15 Diperbarui: 4 April 2023   21:32 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bertemu Lailatul Qadar. Dokpri.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Ramadan memiliki banyak makna. Ramadan adalah bulan mulia. Ramadan adalah momentum untuk mempersiapkan bekal ke kampung akhirat. Ramadan adalah saat yang tepat untuk menempa diri menjadi pribadi dengan predikat takwa. Namun, bagi An atau Ma'e, Ramadan  adalah momen ia bertemu dengan 'Lailatur Qadar'. Kalaupun tidak bisa bertemu dengan Lailatul Qadar maka setidaknya ia bisa merasakan nuansa 'Lailatul Qadar'. Berikut ini adalah kisahnya.

 An hanyalah perempuan biasa. Setelah kehilangan buah hatinya karena ditabrak truk, An merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Terkadang  An merasa kakinya menginjak bumi, tetapi jiwanya  melayang ke langit. Dan kemudian seorang pemuda tampan muncul di benaknya secara tiba-tiba seraya berkata lembut, "Umiii! Aku tunggu Umi di surga!"

Beberapa bulan pasca kematian anaknya, An menjalani puasa Ramadan. Pada bulan Ramadan ini An  tidak ingin  kehilangan sebuah momen istimewa pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan.   Oleh karena itu setelah suami dan anak-anaknya pergi, An pergi ke belakang. Dari balik pintu dapur, An mengintai langit.

Demi meraih Lailatul Qadar,  An rela begadang sejak  sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.

 Ego An berontak terhadap  kebiasaan barunya itu. Didorong oleh rasa penasaran, Ego  An bertanya kepada lubuk hati An,"Mengapa kau sering mengintai langit, An ?"  

Masih dalam balutan mukenah putih, dan sambil menguak pintu belakang, lubuk hati An menjawab pertanyaan egonya , "Siapa tahu aku dapat meraih  Lailatur Qadar."

"Lailatur Qadar? Malam seribu bulan?" tanya Ego.

"Iya. Malam ketika  dosa-dosa diampuni Nya. Doa-doa dikabulkan-Nya."

Serta merta Ego An menyahut, "Mimpi  kamu! Ahli ibadah saja sulit meraih Lailatul Qadar,  apalagi kamu yang  masih terbata- bata membaca Alquran.


Sejenak An terdiam. An mematung menatap langit. Tetapi,  An tak membiarkan waktunya berlalu begitu saja.  An berusaha melewati malamnya dengan  mengucapkan  bacaan tasbih, tahlil , tahmid, sholawat, istighfar dan  doa untuk menyambut kedatangan lailatul qadar, sebagaimana yang diriwayatkan  Aisyah RA  
"Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai satu malam yang merupakan lailatul qadar, apa yang aku ucapkan?
Nabi SAW. menjawab, " Ucapkanlah, Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku"
(HR At-Turmudzi dan Ibnu majah).


Setelah langit tak menunjukkan tanda-tanda,  An memasuki kamarnya menuju mihrabnya--tempat khusus An  untuk beribadah. Lalu   An pun berlama-lama di mihrabnya-menghidupkan malam Lailatul Qadar seperti kebiasaan para ulama dahulu.   Al-Hafizh Ibnu Hajar yang mengatakan  bahwa makna 'menghidupkan malam lailatul qadar' adalah begadang pada malam tersebut dengan melakukan ketaatan.  Juga An-Nawawi yang  mengatakan, "Makna 'menghidupkan lailatul qadar' adalah menghabiskan waktu malam tersebut dengan bergadang untuk shalat dan amal ibadah lainnya.


Usai shalat witir,  An  tilawah. Meskipun masih terbata-bata  membaca Alquran, An bertekad mengkhatamkan Al Qur'an pada bulan Ramadhan tahun itu.
Pada malam ke lima pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Sebelum melanjutkan shalat Tahajudnya, An menyempatkan diri mengintai langit.
Tiba-tiba Ego bertanya kepada Lubuk hati  An . "Sudah mendapatkan Laitul Qadar, An?" tanya Ego dengan nada mencibir.
Lubuk hati An tersentak.  "Belum!" jawab An singkat. Lalu An  kembali mengintai langit.

"Intai terus tuh langitnya! Biar kakimu sampai bengkak. Kamu tak akan mendapatkan  Lailatul Qadar," kata Ego mencibir.

Lubuk Hati
An tak menggubrisnya. An tetap berusaha mengejar Laitul Qadar.

Malam ke tujuh. Ketika mengintai Langit, An belum melihat tanda-tanda Lailatul Qatar. Meskipun demikian An  tak mau berputus asa dari  rahmat Nya. An  tetap  memohon Lailatul Qadar kepada-Nya tak kenal lelah.

"Sudahlah, tidur saja, An ! Kamu tidak akan mendapatkan Lailatul Qadar!" ucap Ego An.

Akhirnya sampailah pada malam ganjil terakhir bulan Ramadhan. Di mihrabnya, An  mulai gelisah.  "Jangan- jangan pada malam ini pun aku tak dapat melihat kemunculan Laitul Qadar," pikir An sambil meremas- remas mukenahnya. Tetapi kekhawatirannya itu ditepisnya. "Bukankah Allah itu mengikuti persangkaan hamba- Nya? Ya, An harus yakin, betul- betul yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa An" bisik Lubuk Hati An.          

Sepuluh menit berlalu. An  bangkit dan keluar dari mihrabnya. Namun, An  merasakan keanehan. Jam dinding yang menempel di ruang tamu berhenti berdetak. Para Jangkrik di sekitar rumahnya yang biasanya bersuara nyaring, mendadak  berhenti mengerik.

Tetiba udara dingin berhenti mengalir dan serta merta tubuhnya terasa hangat meskipun tak mengenakan "sweater". Suasana hening beberapa saat lamanya.

 An  bergegas menuju pintu belakang. Setelah membukanya, mata An  terbelalak ketika  menyaksikan malam tampak terang  benderang tanpa bulan dan bintang.

 'Ma Syaa Allah!" Seru An dalam hati. "Inikah Lailatul Qadar, wahai Rabb-ku? Kalau memang benar, mohon berilah tanda bukti dengan mengabulkan doa- doaku ini..."        

Beberapa tahun kemudian  doa-doa An  dikabulkan- Nya yaitu memiliki dua anak: laki-laki dan perempuan penghafal Alquran. Sementara  An  bukanlah orang yang tak mampu memasukkan anak-anaknya ke pondok tahfidz dan  memiliki sebidang tanah kavling   yang kemudian menjadi rumah idaman An serta doa-doa  lainnya.

Semoga kisah ini dapat memantikbpara pembaca untuk meraih Lailatul Qadar.

samberthr  samber 2023 hari 1

Bondowoso, April 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun