Perjalanan hidup setiap orang adalah unik dan  menarik. Begitu pula perjalanan hidup ibuku, seorang perempuan yang rela meninggalkan kariernya sebagai  kepala keuangan  sebuah perusahaan BUMN di Surabaya, karena suaminya alias ayahku yang saat itu bekerja di sebuah instansi memerintahkannya berhenti bekerja  agar ibuku  fokus mengurus keluarga. Apalagi kala itu aku dilahirkan ibu sebagai bayi prematur.
Menanam padi. Dokpri.
Ibuku adalah  yang pertama kali mengajari aku menulis, setidaknya buku harian yang berisi catatan pemasukan, pengeluaran dan saldo kas serta kegiatan pada hari itu.
Ibuku pernah masuk Rumah Sakit Jiwa. Tepatnya,  Poli Jiwa RSUD Dr Soetomo Surabaya. Bukan karena ibu mengalami gangguan jiwa  melainkan karena Ibu mengantarkan orang  yang sedang mengalami gangguan jiwa atau schizophrenia  berobat.
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)  itu hampir setiap hari datang ke rumah kami. Awalnya suka marah-marah. Kadang-kadang kalau sudah mengalami halusinasi, tiba-tiba ia mengambil benda tajam misalnya parang dan siap-siap membunuh orang  yang ada di depannya. Kemudian, setelah mendapatkan penanganan dari poli jiwa, ODGJ tersebut tidak lagi agresif alias jinak.
ODGJ itu hanya mengomel-ngomel  di depan ibu selama  berjam-jam. Terkadang sampai seharian. Tidak ada orang di rumah yang sanggup menghadapinya kecuali Ibu. Dan ibu biasanya diam  saja mendengarkan omelannya sambil mengerjakan sesuatu, misalnya, mencuci baju, mencuci piring, atau mengulek bumbu.
Sesekali Ibu menanggapi perkataan ODGJ itu dengan ya. Kalau ODGJ  kelihatan lapar atau minta makan maka  Ibu segera memberinya makan sebelum ia mengamuk. Biasanya sepiring nasi 'munjung' dengan lauk tempe dan sambal kecap yang diberi irisan cabe rawit. Dalam waktu singkat nasi  sepiring itu sudah habis ia santap. Jangankan nasi sepiring, nasi se-wakul atau se-waskom pun  langsung tandas dimakannya.
Karena ODGJ itu sering datang ke rumah kami dan mengganggu kehidupan kami maka ibuku sangat mendukungku ketika aku memutuskan memilih jurusan psikologi. Â
Saat itu aku hendak mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri  (PTN) yang waktu itu namanya PERINTIS I. Alhamdulillah aku diterima dan kemudian kuliah  di program studi psikologi Universitas Airlangga Surabaya.
Saat aku menempuh studi di Psikologi, usaha ayahku di bidang meubel jatuh dan ayah bekerja di tempat swasta dengan penghasilan pas-pasan. Â Tentu saja penghasilan ayah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebuah keluarga dengan lima anak. Â
Penghasilan tidak cukup untuk membayar uang kuliahku per semester. Sehingga ibu harus bersungguh-sungguh  membantu ayah mencari tambahan penghasilan.
Dengan uang tabungannya, ibu membeli mesin obras. Lalu ibu menerima obrasan selain menerima jahitan busana perempuan dan anak-anak. Semangat ibuku ini kemudian menjadi pemantikku untuk istiqamah menyekolahkan anak-anakku hingga jenjang perguruan tinggi, meskipun dalam keterbatasan ekonomi.  Dan aku berusaha bekerja apa saja yang  penting halal.  Tak peduli hasilnya sedikit atau banyak.  Aku harus berikhtiar seoptimal mungkin dan tawakal. Apapun hasilnya itulah yang terbaik. Alhamdulillah akhirnya  anakku yang kuliah Tehnik Informatika (TI) di Depok yang kukirimi uang kost dan makan sebesar  sekitar 400 ribu tiap bulannya, dengan izin-Nya berhasil menyelesaikan studi dalam waktu 3,5 tahun dan mendapatkan pekerjaan sebelum lulus.
Setelah lulus dari Fakultas Psikologi Unair, ibuku mengizinkan aku mengadakan layanan psikologi di beberapa tempat di Surabaya.
Dari tempat praktek  tersebut aku menemukan berbagai kasus  yang memperkaya wawasanku seperti kasus konflik dengan orang tua, konflik dengan saudara, konflik dengan mertua, suami menyeleweng, isteri dimadu, gangguan perilaku pada anak, hubungan seks di luar nikah, perilaku seks menyimpang, phobia, depresi, psikosomatik, 'bipolar disorder' dan narkoba.  Sehingga kemudian hari hal itu memudahkan aku untuk  menemukan formula terapi yang tepat saat menghadapi kasus psikologi.
Ibuku sangat  mendukungku menjadi penulis. Aku pernah diantarkan ibu  ke Bengkel Muda di jalan Pemuda Surabaya untuk belajar menulis naskah drama pada seorang penulis. Â
Kadang-kadang ibu mengajakku menghadiri acara pembacaan puisi di Lembaga Indonesia Amerika (LIA) Â kalau tidak salah di jalan Dr. Soetomo Surabaya. Â
Setelah uang tabungan ibu cukup banyak, ibu membelikan mesin ketik untukku. Dengan mesin ketik itu aku belajar menulis. Â Aku berusaha menulis setiap hari. Dan kemudian tulisan-tulisanku kukirimkan ke beberapa majalah. Alhamdulillah banyak yang ditolak. Kecuali ketika aku menjadi kontributor sebuah tabloid di Bandung.
Ketika zaman  sudah memasuki era digital, ibuku membantuku membeli  'smartphone'.  Dengan 'smartphone' tersebut aku menulis.
Setelah cucu ibu dalam hal ini anakku membuatkan blog di Kompasiana maka aku  mengisi hari-hari di usia senjaku dengan menulis di blog Kompasiana selain menanam tanaman hortikultura di lahan pertanian Keluarga Hamdan.
Kini, ibuku sudah tiada. Hanya doa yang bisa kupersembahkan kepadanya. Semoga harta benda dan  ilmu yang pernah Ibu berikan kepadaku bisa menjadi amal jariyah ibu dan wasilah ibu memasuki surga-Nya. Dan juga semoga Allah ta'ala mengampuni dosa-dosanya, melindunginya dari siksa kubur dan memasukkannya ke dalam surga. Aamiin Yaa Robbal'alamin.
Bondowoso, 22/12/2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H