Mohon tunggu...
Abdisita Sandhyasosi
Abdisita Sandhyasosi Mohon Tunggu... Psikolog - Penulis buku solo "5 Kunci Sukses Hidup" dan sekitar 25 buku antologi

Alumni psikologi Unair Surabaya. Ibu lima anak. Tinggal di Bondowoso. Pernah menjadi guru di Pesantren Al Ishlah, konsultan psikologi dan terapis bekam di Bondowoso. Hobi membaca dan menulis dengan konten motivasi Islam, kesehatan dan tanaman serta psikologi terutama psikologi pendidikan dan perkembangan. Juga hobi berkebun seperti alpukat, pisang, jambu kristal, kacang tanah, jagung manis dan aneka jenis buah dan sayur yang lain. Motto: Rumahku Mihrabku Kantorku. Quote: "Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah kesibukan untuk memantaskan diri menjadi hamba yang dicintai-Nya".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rinduku Dalam Furoshiki

16 Desember 2022   21:50 Diperbarui: 18 Desember 2022   16:38 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepi hutan pinus. Pagi.  Udara dingin menusuk tulang.  Ketika jam di dapur  menunjukkan pukul enam. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah. 

Suamiku sedang membaca buku sambil menyeruput wedang kopinya. Sementara itu aku mempersiapkan bekal makan  suamiku yang hendak berangkat ke sawah.

Aku mengambil  "furoshiki" dari dalam almari dapur. Furoshiki, kain pembungkus khas Jepang itu hadiah dari  Masako Taeishi, keluarga angkat suamiku saat magang pertanian  di Jepang sekian tahun yang lalu.

Nasi dari "rice cooker" yang masih hangat, tempe bacem, dua irisan mentimun dan sambal bajak kumasukkan ke kotak bekal. Lalu aku membungkus kotak bekal tersebut dengan "furoshiki".  

Setelah menaruh kotak bekal di atas meja dapur, aku pergi ke kamar mandi sebentar. Begitu ke luar dari kamar mandi, aku menggigil kedinginan.

Suamiku cepat- cepat menghampiriku dan mendekapku beberapa saat. Setelah itu segera membawaku  ke kamar.

Aku menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur.

"Bagaimana, Umi? Terasa  hangat kan?" tanya suamiku sambil menyelimuti tubuhku dengan selimut tebal.

Aku mengangguk pelan, "Alhamdulillah. Sudah berkurang dinginnya."

"Kalau begitu sekarang Abi mau ke sawah," kata  suamiku.  

Aku mencium tangannya. Suamiku mencium keningku.

"Assalamualaikum!" Ucap suamiku.

"Wa 'alaikum sallam!" Sahutku.

Suamiku bergegas ke luar kamar.

Mengambil kotak bekal nasi yang kubungkus furoshiki di dapur.

Tak lama kemudian dari  balik kaca jendela kamar, aku melihat suamiku mengeluarkan sepeda jadulnya. Begitu  keluar dari dapur,  suamiku mengayuh sepedanya dan meninggalkan halaman rumah kontrakan kami.

Selama sekitar hampir  satu jam  aku mendekam di dalam kamar. Aku menghabiskan waktuku  dengan dzikir, sholawat dan istighfar.  Setelah  badanku cukup hangat, aku  beranjak dari tempat tidur dan pergi  ke dapur.

Aku melihat  bahan makanan apa saja yang sudah dibeli suamiku di warung tetangga  tadi pagi.  Tetapi, ternyata  aku hanya  menemukan tepung bumbu di tas belanja yang biasa dibawa suamiku ketika berbelanja.   Badanku lemas seketika.      

Beberapa saat aku duduk termenung di dapur. "Tempe bacemnya sudah habis. Nanti makan dengan apa kalau anak-anak sudah datang dari sekolah?" Aku bertanya dalam hati.

Setelah salat Dhuhur, baru aku pergi ke kebun-halaman samping rumah kontrakan yang telah kusulap jadi kebun.

Mataku  menyapu pandang halaman. Ada TOGA Tanaman Obat Keluarga, seperti: Jahe, kunyit, temu Lawak dan kencur. 

Ada tanaman buah, seperti: pepaya, pisang dan stroberi. Ada tanaman sayur  seperti: Terong, bayam, cabe, tomat, bawang merah,  bawang daun dan kangkung. Ketika melihat  kangkung tumbuh  subur, aku  memetik daunnya. Setelah cukup banyak, aku membawanya ke dapur.

Aku mencuci kangkung, memotong-motongnya dan mengolahnya menjadi tumis kangkung. Bumbu:  bawang merah, bawang putih, cabe dan tomat kurajang halus. 

Wajan kupanaskan. Minyak sayur satu sendok kutuang. Setelah panas bumbu dimasukkan. Setelah harus, air satu sendok kutuang.  Lalu sayur kangkung kumasukkan. 

Menyusul saos tiram, kecap, laos  digeprek, gula dan garam secukupnya. Lima menit kemudian  kompor kumatikan. Tumis kangkung  kutuang ke panci sayur.  

Ketika  aku meletakkan panci yang berisi tumis ke atas meja dapur, Suamiku datang.

Suamiku mengucapkan salam sambil melempar senyum.

Aku menjawab salam suamiku. Dan bergegas mengambil kotak bekal yang dibungkus furoshiki. Begitu  melihat jagung muda  di tas kresek yang dibawa suamiku, mataku berbinar- binar seketika.  

"Umi, ini jagung dari sawah. Masak, ya?"  Suamiku  menyerahkan  tas kresek putih yang berisi jagung dan kotak bekal yang sudah kosong.

"Iya, Abi. Terima kasih!" Ucapku sambil menerima tas kresek dan kotak bekal yang dibungkus furoshiki dari tangan suamiku. Lalu aku mengolah jagung muda menjadi bakwan jagung dengan tepung bumbu instan plus rajangan bawang daun.

Sambil menunggu bakwan  matang, suamiku menghafalkan  Al Qur'an.

Sementara itu aku  menggoreng bakwan jagung. Setelah tampak coklat kekuning-kuningan, aku mengangkatnya. Setelah tiris aku menyajikannya di piring. Suamiku mengambil satu bakwan.

"Lezat sekali bakwan jagung Umi!" Ucap suamiku setelah menggigit     bakwan jagungnya.

"Alhamdulillah!" Sahutku sambil  memasukkan

Selain mengerjakan sawah,  suamiku juga bertugas sebagai dai di desa. Jarak desa binaannya  berkilo- kilo meter dari rumah kami dan medannya cukup berat. 

Kalau setiap hari perjalanan ke sana harus ditempuh dengan sepeda jadulnya maka dijamin kakinya akan soak sebelum satu tahun. Oleh karena  itu setiap  usai salat, setelah memuji- muji-Nya, aku memohon kepada- Nya agar suamiku diberi- Nya motor.

Dua tahun kemudian. Tidak kusangka seseorang memberi  suamiku motor bekas. 

Akhirnya dengan motor itu, suamiku pergi ke berdakwah di desa- desa di Kabupaten Bondowoso. Dan dengan motor itu pula suamiku mengajakku bepergian ke pelosok-pelosok desa sambil membawa bekal yang dibungkus furoshiki.

Kadang kami pergi ke tepi hutan mencari pegagan. Kadang kami pergi mendaki menyusuri jalan setapak di lereng gunung Piramida. Sekali-sekali kami pergi berkunjung ke rumah seorang  Kyai untuk meminta nasihatnya.

Salah satu nasihat Kiai yang paling berkesan adalah bahwa seorang wanita tidak akan mencium bau surga. Jika ia meminta cerai suaminya  tanpa alasan syariat.  

Oleh karena itu,  apapun yang terjadi Insya Allah aku tidak akan  menggugat cerai suamiku. Sampai Allah sendiri yang akhirnya memisahkan aku dengannya. Tepatnya ketika suamiku menjalani perawatan di ruang ICCU sebuah rumah sakit karena  gagal jantung, 

Dia Yang Maha Hidup  memanggil suamiku. "Innalilahi wa Inna ilaihi raji'un". Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Rinduku pun akhirnya kusimpan dalam furoshiki.

--23--

Bondowoso, 15/12/ 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun