Mohon tunggu...
Reni Retnowati Handayani
Reni Retnowati Handayani Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Seorang manusia biasa,yang ingin memberikan "sesuatu" pada dunia....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bersyukurlah!

23 Oktober 2011   21:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:35 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setahun yang lalu, ketika saya dan suami masih menetap di Sudan, seorang sahabat dari Kenya, pernah datang kerumah untuk bersilaturahim.

Karena keterbatasan ruang, jadilah kami sekat ruang tamu kami, dengan sehelai kain seprai, menjadi 2 ruang, satu bagian untuk suami dan sahabatnya,dan di bagian lain saya “bersembunyi” disana.

Sekilas tentang keadaan rumah di Sudan, memang jauh berbeda dengan rata-rata rumah di Indonesia pada umumnya. Di Sudan, tepatnya di Khartoum, untuk menyewa satu ruang -yang mereka sebut sebagai rumah- kami harus membayar sekitar 170 pound hingga 200 pound atau setara 68 USD hingga 80 USD tiap bulannya. Kebanyakan rumah dibangun dengan system komplek, satu komplek sekitar 3 atau 4 rumah, dengan pemilik yang sama. Dan dalam satu komplek ini, menggunakan satu aliran listrik, jadilah tiap bulan kami saweran untuk membeli listrik dengan tetangga. Listrik kami beli dengan system prepaid. Begitu pula dengan air bersih.

Sebagian besar tetangga kami adalah mahasiswa universitas-universitas di sekitar Khartoum, yang berasal dari berbagai negara, terutama dari benua Asia dan Afrika.

Bahkan sahabat-sahabat suami, yang satu kampus dengannya pun banyak yang berasal  dari Indonesia.

Tetangga sebelah rumah saya adalah pasangan suami istri beranak 3. Istri berasal dari Zanzibar Island, di Tanzania, dan suaminya dari Republik Congo. Anak ketiga lahir di Sudan,saat mereka berdua kuliah. Karena hidup di multi culture,dan multi language-ayahnya berbicara dengan bahasa Perancis,Arab dan Kiswahili,sedang ibunya bicara Arab dan Kiswahili- plus saya yang juga menginfiltrasi dengan bahasa Inggris dan Indonesia- plus tetangga lain yang bicara dengan darajiah (bahasa daerah) Arab Sudan- sepertinya sempat membuat anak ini bingung di usianya yang masih 3 tahun. Saya tahu ia menikmatinya, tapi entahlah, apakah ini akan menghambat kemampuan bahasanya atau tidak…

Namun meski hidup dalam multi budaya dan bahasa, alhamdulillah pergaulan kami dengan tetangga dan sekitar sangat baik. Jika kami menemui masalah dalam komunikasi, maka kami menggunakan bahasa alternative untuk menyampaikan maksud kami, ya, tangan dan raut wajah kamilah yang berbicara.

Banyak orang bilang, Sudan adalah the most extreme country dalam hal iklim dan lingkungan. Jika anda berhasil survive dan bisa menikmati Sudan, terutama Sudan Utara, tanpa bantuan alat-alat modern, InsyaAllah dipastikan anda dapat hidup di belahan bumi manapun.

Bayangkan saja, pada bulan Desember-Januari, udara sangat dingin menusuk tulang, tapi di bulan Mei – Agustus, panas udara mencapai lebih dari 50 derajat celcius. Iklim di Sudan lebih “hebat” dari pada iklim di Negara tetangganya, Mesir, seperti yang di ceritakan di novel Ayat-Ayat Cinta.

Ada seorang sahabat asal Indonesia yang kuliah di Khartoum, melahirkan saat bertepatan dengan musim panas. Jadilah ia setiap hari setelah melahirkan, membawa anaknya ke masjid untuk sekedar mendapat udara dingin dari AC, karena bayinya selalu menangis kepanasan. Setelah maghrib baru ia kembali kerumah, sampai akhirnya suaminya mampu membeli AC.

Lain lagi yang di lakukan oleh sahabat saya dari Tanzania. Ia merendam bayinya setiap siang di baskom besar dengan air dingin untuk membuat anaknya tidak rewel saat kepanasan.

Bagaimana dengan orang dewasa? Hmm, kami terbiasa membasahi kasur kami dengan air sebelum kami tidur, karena menggunakan kipas angin pun hanya menambah keringnya udara.

Sebagian besar pemandangan sekitar kami didominasi oleh gundukan-gundukan pasir. Pernah kami mencoba menanam kurma, begitu kami melihatnya menyembul dari tanah, rasanya senang bukan kepalang, bisa melihat tanaman hijau di halaman rumah kami.

Namun kegersangan ini tidak terjadi di semua daerah di Khartoum. Di International University of Africa, beberapa bagiannya terlihat hijau, bahkan beberapa mahasiswa yang tinggal di asrama bisa bertanam kangkung dan bayam. Juga di rumah seorang teman Indonesia di daerah Bahar, halamannya terlihat hijau dan asri.

Hujan datang sekitar 3-5 kali setahun, itupun pada bulan-bulan tertentu saja. Cuma, ketika hujan datang justru lebih banyak masalah yang timbul, karena sebagian besar rumah-rumah di Sudan, hanya dibangun dengan tanah, tanpa semen, sehingga begitu hujan datang, rumah-rumah ini dapat ambruk begitu saja. Juga karena tidak ada pepohonan untuk menyerap air, banjir dan lumpur tebal terjadi dimana-mana.

Sebelum musim hujan datang, biasanya terjadi badai debu. Pertama kali saya melihat Ghubar (sand storm)* ini, suami sedang di kampusnya. Saya tidak mengerti apa yang terjadi, yang saya tahu angin berhembus sangat kencang, namun saya justru menikmatinya karena sebelumnya udara sangat panas. Maka saya membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk mempersilahkan angin masuk kerumah saya. Sempat saya lihat debu, tapi saya tidak mempedulikannya. Alhasil dalam hitungan menit, rumah saya berikut seluruh perabotan, tertutup debu dan kotor semua.

Nah, kembali ke ruang tamu, dimana suami saya dan sahabatnya menunggu…

Seperti biasa, setiap kali suami membawa sahabatnya kerumah, ia akan meperkenalkannya kepada saya dari balik tabir, dan setelah itu, mereka akan mulai bertausiyah satu sama lain.

Kali ini sahabat suami saya mengingatkan saya akan sebuah hadith, “apabila seorang istri taat melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa di Bulan Ramadhan, memelihara kemaluannya dari perzinahan,dan patuh serta taat kepada suaminya, maka kelak akan dikatakan kepadanya, “ Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai,” ( hadith Riwayat Ahmad dan Thabrani dari Abdurrahman bin Auf)

Alhamdulillah. Ia mengingatkan saya akan nikmatnya menjadi seorang istri. Sungguh Allah telah memberikan rukhsah yang demikian besar kepada kaum perempuan sehingga “hanya” dengan menunaikan shalat, shaum,menjaga diri dan kehormatan, serta taat pada suami telah cukup untuk membayar tiket ke surga…tiket VIP pula, karena kita bisa masuk dari pintu manapun. Alhamdulillah.

Ia juga mengingatkan saya akan arti sabar kepada suami. Mencari keridhoannya karena Allah, dan menjaganya agar senantiasa ridho pada kita.

Teringat saya akan sebuah ironi yang mengatakan bahwa pernikahan ibarat sebuah gerbang.

Berjuta orang diluar sana, yang belum mendapat SK dari Yang Maha Kuasa untuk menikah, antri untuk bisa masuk ke dalamnya, sambil berangan akan indahnya hidup bersama “dia”.

Namun, tak kalah banyak pula orang didalam gerbang pernikahan yang antri untuk bisa keluar, sambil merutuki kehidupan pasca pernikahannya, yang katanya mengekang kebebasan, tidak bisa beradaptasi, jemu, jenuh, bosan, salah pilih ( astaghfirullah..) dan seribu alasan lainnya.

Ah, memang manusia adalah makhluk yang paling sulit bersyukur…

Padahal sesungguhnya surga dan neraka kehidupan pasca pernikahan ada dalam genggaman kita, biidzniLlah. Kitalah yang berhak memanagenya sedemikian rupa sehingga Al baytiy jannatiy ( rumahku syurgaku ) akan tercipta. Jangan sampai keegoisan dan kekanak-kanakannya sikap kita menjadikan bara api didalamnya.

Bersyukurlah, dengan menikah Allah telah menyempurnakan separuh agama kita, dan kita “hanya” perlu untuk menyempurnakan yang separuhnya saja.

Bersyukurlah dengan menikah kita memiliki belahan jiwa, tempat melepaskan penat dan lelah, dengan sebuah kesadaran bahwa ia juga manusia yang juga mengharap kasih sayang kita untuk melepaskan lelah dan penatnya.

Bersyukurlah karena sekecil  apapun usaha  kita untuk meraih ridhoNya tidak pernah sia-sia dihadapanNya,

Bersyukurlah!

Bukankah orang-orang yang senantiasa bersyukur akan selalu mendapat rahmat dan tambahan nikmatNya? “ Wa idz taadzana robbukum lain syakartum laazidanakum. Wa lainkafartum inna adzaabi lasyadid! “

Wallahu’alam

· -bisa lihat gambaran ghubar ini di Dr. Google dengan keyword 'sandstorm sudan'

· -tulisan ini dibuat bukan oleh seorang ahli pernikahan, melainkan hanya seorang ibu baru yang dhoif, yang senantiasa berharap dan berusaha agar syurga selalu ada dalam rumahnya…insyaAllah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun