Setidaknya ada beberapa hal yang perlu disadarkan kepada sang pembuat video. Pertama, bahwa Islam menyiapkan kaum wanitanya sebagai lahan subur bagi tumbuh kembangnya generasi premium. Bagaimana seorang wanita mendidik anak-anaknya dan mengurus rumah tangganya adalah sebuah tugas teramat penting untuk sekedar disandingan dengan urusan bisnis (kecuai jika single parent), medali dan aktualisasi seni. Untuk itu, menjadi seseorang dengan pendidikan dan pengetahuan agama dan non agama yang mumpuni adalah penting bagi wanita muslim, agar dirinya memiliki visi yang jelas dan mampu mewujudkannya dalam misi baik itu untuk keluarganya maupun lingkungannya. Kedua, penyampaikan pesan yang kabur ini berpeluang menyebabkan pelemahan nilai agama secara terstruktur, dimulai dari rusaknya konsep di kepala sebagian muslimah mengenai hak dasar mereka untuk bebas menutup auratnya dan bebas memilih apa yang mereka ingin lakukan dalam koridor syariah. Ketiga, perlu digarisbawahi bahwa sebagai seorang muslim saya secara pribadi menyatakan ketersinggungan saya mengenai pengkerdilan tuntunan syariat yang diabaikan dalam cerita video ini. Keempat, video ini menyatakan kemunduran pemikiran sebagian muslimah tentang definisi jilbab dan menyatakan secara tegas kondisi serba terbatas (jika tidak ingin disebut terkekang) karena jilbab yang dikenakan dan tuntunan syariah. Padahal, muslimah internasional, dimana kebebasan berjilbab tidak bisa dihirup sebebas di negeri ini, persepsi macam ini telah lama berusaha dirubah dan diperangi.
Selanjutnya,saya pikir ada baiknya jika nanti dibuatkan lagi video semacam ini tentang beberapa tokoh wanita “berprestasi” dan “berpengaruh” lainnya. Misalnya Sidrotun Naim , seorang peneliti bakteri berpendar pada udang yang meraih gelar doctoral di Harvard University dengan sederet penghargaan atas hasil penelitiannya. Ditambah beliau juga memiliki anak yang hafiz Quran. Tentu akan sangat menarik dibahas bagaimana beliau dapat melakukannya secara bersamaan. Atau ibu dari Musa sang hafiz cilik. Tentu prestasi Musa sebenarnya adalah prestasi sang bunda yang telaten mengajarkannya Al Quran di rumah. Apa bedanya? Mereka ini pun juga adalah wanita dan berkerudung. Oh, saya pikir mungkin jawabaannya karena mereka tidak mendapatkan “perlawanan” nasehat-nasehat seperti yang diterima kelima tokoh tadi. Nasehat yang seharusnya membuat mereka berpikir bahwa ternyata mereka masih disayangi dan dipedulikan. Satu hal ini membuat saya setidaknya sedikit senang, ternyata tidak hanya saya yang berpendapat demikian. Meminjam kata-kata Teuku Wisnu dalam sebuah wawancaranya. “Saya begini bukan untuk menyenangkan manusia. Saya begini untuk menyenangkan Tuhan saya, dan meniru Rasul saya”. Penting, teramat penting kata-kata esensial ini untuk direnungi. Untuk siapa kita melakukan sesuatu, siapa yang akan kita buat senang dan ridho, dan siapa yang kita tiru sebagai teladan dalam melakukannya. Jawabannya tentu kembali pada masing-masing pribadi, tetapi bagi seorang muslim, tentu jawabannya sudah jelas. Wallahualabishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H