KITA ABADI
Mengingatmu adalah tanya, apa pantas jika aku tertawa?
Bunga marigold yang dahulu kau beri masih kusimpan rapi di sudut kamar, keadaannya kering dan sangat layu seperti aku yang sudah lama ditikam rindu. Surat-surat puisi yang kau tulis dengan bahagia lalu isinya adalah aku, tapi kini sudah tidak ada lagi bahagia dan aku di dalamnya.
Di sore hari aku mendatangi senja untuk sekadar duduk, sembari mendengarkan lagu banda neira katanya "selamanya, sampai kita tua, sampai jadi debu, ku di liang yang satu ku di sebelah mu". Kereta ini akan membawa kita ketempat-tempat bahagia, aku ingin menghabiskan waktu denganmu hari ini, esok dan seterusnya aku berharap kau tidak keberatan, kalimat itu terucap dari bibirnya tentu saja aku sangat bersedia, aku diam hanya sedikit mengangguk dan tertunduk.
Saat itu keadaan kereta penuh hanya tersisa satu ruang duduk, dengan senang hati kau mempersilahkan aku duduk, saat ku tanya kau bagaimana, dengan wajah tersenyum kau menjawab "aku ingin di depanmu melihat wujud keindahan". Jantungku berdegup kencang mungkin wajahku sudah memerah, tapi aku berusaha menutupinya walapun sangat terlihat jelas bahwa aku sedang menahan malu. Kereta ini masih melaju, kini kau telah duduk di sampingku sambil membaca puisi karya bapak Sapardi.
Yang fana adalah waktu
Kita abadi memungut detik demi detikÂ
Serangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu