Mohon tunggu...
Sri Kuswayati
Sri Kuswayati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Teknologi Bandung dan owner penerbit buku CV. Future Business Machine Solusindo (www.fbmsolusindopublishing.com)

Aktif mengajak Bunda belajar dan berpenghasilan dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Negara Berutang pada Guru SLB

30 Mei 2023   07:38 Diperbarui: 30 Mei 2023   08:23 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah putra/putri kita mengalami demotivasi saat belajar? Malas untuk berangkat ke sekolah? Sering berbuat onar di sekolah? Tampaknya kita harus belajar banyak pada sistem pembelajaran yang terjadi di Sekolah Luar Biasa (SLB).

Mengenal sistem pendidikan yang terjadi di SLB seperti menemukan contoh nyata Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) yang mengusung konsep Merdeka Belajar. Kurikulum Merdeka dirancang sangat fleksibel, pembelajaran berpusat pada murid, merupakan pembelajaran yang kontekstual dan berdiferensiasi. Ya, bisa dikatakan, sebelum Kurikulum Merdeka digaungkan, SLB sudah lebih dulu mempraktikkan pendidikan yang ramah siswa. SLB adalah pionir dalam "Semarak Merdeka Belajar".

"Pada umumnya, siswa berkebutuhan khusus memiliki semangat belajar yang luar biasa. Mereka mempunyai ikatan yang kuat dengan teman-teman dan para guru di sekolah. Bahkan, saat libur pun, mereka tetap ingin berangkat ke ke sekolah. Tantangan terberat terjadi saat pandemi. Mereka merasa jenuh di rumah. Video kiriman guru menjadi obat rindu. Sekolah menjadi rumah kedua bagi mereka", ucap salah satu guru SLB di kegiatan Pelatihan Komite Pembelajaran (PKP) dalam Program Sekolah Penggerak  (PSP) angkatan 3, di mana saya bertugas menjadi salah satu Fasilitator Sekolah Penggerak dari BBGP Jabar Kemendikbud Ristek.

Aha! "Sekolah Menjadi Rumah Kedua", ini benar-benar amazing bagi saya, mungkin juga bagi Anda yang sedang membaca tulisan ini. Bagaimana mungkin siswa SLB yang kita pikir sulit untuk mendapatkan arahan dan pendidikan, begitu bergairahnya untuk berangkat ke sekolah. Hal yang sebaliknya justru terjadi pada anak-anak normal, fenomena membolos atau "ogah" pergi ke sekolah seakan sudah lumrah. Apalagi jika kegiatan di sekolah menjemukan, kegiatan belajar hanya menekankan hapalan. Guru tidak bisa menjelaskan kebermanfaatan materi yang disampaikan dan kaitannya dalam kehidupan (kontekstual).

Belum lagi cerita siswa yang pergi sekolah hanya untuk "menggugurkan kewajiban" atau ikut-ikutan teman. Ini kisah nyata, loh. Saya alami sendiri saat melakukan kegiatan evaluasi berkala mendampingi mahasiswa di program Kampus Mengajar. Para mahasiswa menyampaikan "temuan di lapangan" bahwa beberapa peserta didik tidak membawa alat tulis ke sekolah saat ujian berlangsung. Tergesa-gesa saat menjawab soal ujian. Jujurly, bisa jadi, kisah yang sama mungkin terjadi pada anak-anak kita.

 

Sistem Pendidikan di SLB Sejalan dengan Semangat Kurikulum Merdeka?

Lantas seperti apa sistem pendidikan yang berjalan di SLB dan dapat dikatakan sudah menyerupai semangat Kurikulum Merdeka? Mari kita simak paparan saya selanjutnya. Pahami baik-baik, ya. Jika perlu, Anda bisa mencatat bagian-bagian penting di dalamnya. Are you ready? Gaskeun ....

Kegiatan belajar di SLB itu sungguh luar biasa, seperti nama yang disematkan : Sekolah Luar Biasa. Siswa dan gurunya pun merupakan manusia-manusia spesial. Sebagai contoh, kegiatan belajar yang terjadi di SLB Negeri 1 Cileunyi yang memiliki 205 siswa dengan 5 kelompok rombongan belajar (Tuna Netra, Tuna Rungu, Tuna Grahita, Tuna Daksa dan Autis). Bayangkan, 205 siswa itu beragam usia, beragam ketunaan. Tentu saja dengan kondisi tersebut akan beragam pula kebutuhan belajar siswanya. Setuju?

Nah, apakah dengan keberagaman yang ada, para guru SLB bisa menetapkan capaian pembelajaran yang sama untuk semua siswa? Bagaimana jika ada siswa SMA yang mengalami Tuna Grahita? Apakah siswa tersebut akan dijejali materi setara dengan anak normal di usianya. Tentu saja tidak, Ferguso! Jika siswa tersebut secara fisik berusia 17 tahun, tetapi secara mental masih berusia 10 tahun, maka stimulasi yang diberikan guru sesuai dengan usia mentalnya. Pada bab inilah SLB telah lebih dulu menerapkan pembelajaran berdiferensiasi yang digadang-gadang oleh Kurikulum Merdeka bisa diterapkan di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia. Kegiatan belajar berdiferensiasi merupakan wujud penghargaan atas keunikan setiap siswa yang sesuai dengan semangat Merdeka Belajar. Bagaimana dengan yang terjadi di sebagian besar sekolah reguler saat ini?

Dan,  lebih keren lagi, saat mengikuti sesi Bimtek sebagai Calon Fasilitator Sekolah Penggerak, saya melakukan analisis terhadap Modul Ajar mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk siswa SLB kelas X. Tahukah Anda, apa yang diajarkan guru TIK pada siswa SLB tuna grahita Kelas X yang  usia mentalnya setara dengan anak normal 10 tahun? Beliau mengajak siswa untuk mengenal jenis aplikasi, melakukan install dan unistall antivirus. Mari cek, apakah SD negeri melakukan hal yang sama pada anak usia tersebut? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun