Mohon tunggu...
Sri Kuswayati
Sri Kuswayati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Teknologi Bandung dan owner penerbit buku CV. Future Business Machine Solusindo (www.fbmsolusindopublishing.com)

Aktif mengajak Bunda belajar dan berpenghasilan dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inilah Beban Generasi Sandwich yang Bikin Bahagia

16 Desember 2020   08:39 Diperbarui: 16 Desember 2020   08:44 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maaf saya terlambat datang. Ibu saya tadi menangis saat saya larang untuk memasak. Ibunda saat ini sudah sepuh, sudah 80 tahun tapi masih aktif berkegiatan termasuk memasak. Jika kami larang, beliau akan menangis bahkan terkadang marah." Kalimat itu meluncur dari seorang narasumber  sebuah seminar yang saya ikuti.Saat itu, saya belum merasakan dan mengerti dengan apa yang beliau sampaikan.

Belakangan saya mulai mengerti dengan pernyataan narasumber tadi, setelah saya mengalami sendiri, menjadi generasi sandwich. saya adalah  ibu dari empat orang anak, saat ini tinggal bersamai bunda yang sudah lanjut usia. Mulailah perlahan saya paham betapa luar biasanya karunia menjadi generasi ini.

Saya pribadi saat kecil tumbuh di keluarga tyang jarang  bersinggungan langsung dengan nenek atau kakek. Interaksi saya ya hanya dengan orang tua saja, jadi tidak  mengalami dan melihat bagaimana kedua orang tua berinteraksi dengan nenek kakek di keseharian, karena tidak pernah tinggal serumah dengan mereka. Saya awam dengan hal ini.

Kehidupan yang terasa lebih lengkap saya rasakan saat harus mengurus anak dan orang tua. Keduanya tentu butuh perhatian ekstra. Benar kata orang, mengurus orang tua itu butuh kesabaran luar biasa, mereka kembali seperti anak kecil. Kadang merajuk jika ada keinginan tidak dikabulkan. Salah dalam bersikap dapat  menjadikan kita seorang anak yang berdosa pada orang tua. Hal ini yang membuat saya berhati-hati.

 Sebagai manusia biasa, saya terkadang terpancing emosi saat berinteraksi yang menuntut kesabaran tingkat tinggi dalam menjalaninya. Jika mengalami hal itu saya segera meminta maaf pada Mamah. "Maafkan ya Mah, tadi saya marah, gak kontrol". Biasanya Mamah menjawab : "Gak apa, Mamah paham pasti kamu lagi banyak pikiran."

Sebisa mungkin saya tidak meninggalkan Mamah sendiri  di rumah. Karenanya saya menyusun jadwal mengajar hanya pada hari-hari ada asisten rumah tangga saja. Saya pastikan Mamah aman dalam pantauan. Saya pun menolak untuk mengajar malam hari di kelas karyawan. Bahkan pernah selama satu semester saya cuti mengajar karena saat itu Mamah sering sakit dan pada saat yang bersamaan anak-anak saya juga sakit bergantian. Malu rasanya terlalu banyak izin.

Sebelum tinggal bersama Mamah, saya dan keluarga  menempati rumah sendiri, sehingga otomatis baik saya maupun anak-anak belajar adaptasi menyikapi kondisi terbaru, tinggal di rumah ibu saya yang merupakan nenek mereka.  Saya mulai mengenalkan bagaimana mereka harus bersikap dan berinteraksi melalui teladan sikap yang saya berikan pada ibu tercinta.

Saya melarang anak-anak saya kos dan kuliah di luar kota. Mereka harus paham kehidupan yang dijalani saat ini berbeda dengan sebelumnya. Ada saya dan neneknya yang harus mereka jaga. Ya, adaptasi hidup bersama nenek tentu hal yang bisa diselami jika sering berinteraksi, akan makin paham hak dan kewajiban. Perlahan anak saya paham akan hal itu, kami saling cek jadwal jika mendadak saya harus keluar rumah, memastikan Mamah tidak sendirian di rumah.

Memahami sisi psikologis lansia juga mencoba memahami diri yang memasuki middle age serta anak-anak yang mulai memasuki dewasa adalah seni tersendiri. Setiap hari saya belajar dan menemukan banyak hal-hal baru dan pengalaman-pengalaman baru. Saya mulai tidak cemas saat Mamah tetap memilih melakukan aktivitas ringan sendiri. Saya membiarkan Mamah untuk bahagia dengan memasak. Mamah sangat perfect dan saya mencoba untuk paham itu.

Saya yang awalnya saya diliputi kecemasan, takut mamah jatuh, mamah sakit dan pikiran buruk lainnya saat ini mulai rileks menghadapi semua dinamika kehidupan dan menerima sebagai sebuah anugerah. 

Pun tatkala saya memutuskan untuk tidak mengambil S-3 di luar kota, padahal itu impian saya sejak muda. Ya, saya menunggu anak-anak besar untuk lanjut sekolah, ternyata takdir saya ada di sini, membesarkan anak-anak dan membersamai Mamah di hari tua tanpa kehadiran almarhum ayah. 

Ya Allah semoga nanti jika usia saya panjang, tentu saya pun tidak ingin hidup sendiri, ingin sehat seperti mamah dikelilingi anak dan cucu tercinta.Hidup dalam bahagia.

Bagaimanapun adalah bagian dari kehidupan yang harus kita sadari bahwa akan ada satu masa di mana dunia menjadi seakan terbalik, dahulu kita diurus orang tua, sekarang sebaliknya. 

Sudah selayaknya ini menjadi ladang amal dan menjadi kehidupan yang bikin bahagia karena nyata syurga itu ada di dekat kita. Semoga Allah rida atas upaya untuk menjadi anak sholeh dengan mengurus dan membersamai orang tua di sisa usia mereka. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun