Pagi yang padat, seakan tidak ada corona di tempat ini. Layaknya hari-hari sebelumnya, di jam-jam tertentu, klakson mobil bersahutan, meminta kendaraan di depannya bergerak cepat. Pasalnya, raungan sirene pertanda kereta akan segera lewat terus menjerit, meminta mobil dan motor kosongkan rel. Aku ada di antara mereka, mengendarai mobil tua, di pagi yang terasa terik.
Tiba-tiba saja mobil mendadak berhenti, kuinjak pedal gas, tidak menyala. Aku mulai panik, tak berani memaksa, karena tercium bau menyengat, seperti ada yang terbakar. Segera aku nyalakan lampu hazard, turun dan memberi aba-aba pada puluhan mobil yang tertahan di belakang. "Mogok, Pak"
Bergegas kuminta bantuan pada juru parkir untuk mendorong mobil ke pinggir. Setelah aman, kunyalakan HP, minta pertolongan orang rumah. "Mobil mogok, dekat rel kereta, sebelum pasar."Aku meminta bantuan adik lelaki, seorang pengusaha konveksi. Dia berkali-kali bilang padaku. "Di luar ramai, seperti tidak ada corona."
Dalam penantian, menunggu bala bantuan datang, aku duduk menikmati hiruk pikuk pagi di tempat mobil mogok menepi. Kulihat lalu lalang angkot, kosong melompong. Lantas bapak-bapak, ibu-ibu serta anak-anak beraktivitas seperti biasa. Tidak jaga jarak, sebagian memakai masker, lainnya tidak. Seperti tidak ada corona di sini.
Aku, yang sejak Februari beraktivitas mengajar daring, full di rumah saja, seakan mendapati fakta yang jauh berbeda dengan data update tentang corona. Tetang hal-hal terkait protokol kesehatan yang harus di jaga. Pagi ini, di hari ini aku melihat dengan mata dan kepalaku sendiri. Di sini, seakan  tidak ada corona. Pandemi? Entahlah, aku jadi curiga.
Lantas pikiranku teringat pada seorang kawan, pekerja kantoran, sudah beberapa kali test swab, hasilnya positif. Terjebak rutinitas baru, bekerja hanya dari rumah saja. Anaknya tak bisa dipeluk. Ibunya selalu ketakutan, bahkan untuk menerima telepon pun tak mau. Takut tertular corona.
Begitu juga satu sahabatku, yang ibunya wafat diduga corona. Tak bisa bertemu sanak saudara. Hidup bak di dalam gua. Sunyi, sepi. Mungkin jika ku ajak pagi ini ke kota, ia akan berteriak. "Di mana corona berada?"
Kenyataan-kenyataan di lapangan, yang sering terasa bertolak belakang dengan informasi yang diberikan, wajar kiranya membuat sebagian orang berkata : "Tidak ada corona di sini". Iya, ukurannya yang kecil, membuat tak tampak mata. Ukurannya yang sangat kecil nyatanya telah membuat porak poranda. Tetapi tidak terjadi di sini, di tempat aku duduk pagi ini. Semua terasa biasa-biasa saja, seperti tidak ada corona.
Wajar saja jika kemudian orang lapangan mempertanyakan. Data-data jumlah penderiata corona itu dapat dari mana? Kumpulan mereka yang sakit itu ada di mana? Karena pada faktanya, penghuni jalanan merasakan corona itu seakan tidak ada.
Saya pun yang beraktivitas di rumah saja, mulai ragu dengan data. Â Apalagi saat beberapa saksi mata menyatakan, " Tak ada tuh pasien covid di rumah sakit X. Rumah sakit sepi, gak ada covid kayaknya."
Padahal, sepengetahuanku, dalam kajian sistem informasi yang sering disampaikan saat kuliah, data adalah bentuk jamak dari datum yang berasal dari bahasa latin. Â Hal sejalan dituliskan wikipedia, data adalah catatan atas kumpulan fakta.Â
Karenanya, jika data adalah kumpulan fakta, tentu negara ini tidak akan gegabah dalam update data terkait covid. Itu dikumpulkan dari fakta di lapangan. Yang menjadi pertanyaan, fakta itu adanya di mana? Lha wong Bapak pemulung di depan saya saat ini sedang senyam senyum mengupas buah naga "temuannya". Gak cuci tangan, blem masuk ke mulutnya. Seketika pikiran parno saya membayangkan ribuan virus ikut masuk ke tubuhnya.
Ah, sudahlah. Saya malah jadi bersyukur laporan data update terkait covid tidak detil menyertakan sebarannya ada di mana. Titik persisnya, rumah sakit mana saja, orangnya siapa saja, asalnya dari mana. Lebih aman, lebih membuat optimis dan sehat.
Saya jadi bersyukur dengan ukuran virus yang tidak kasat mata. Seandainya kita bisa leluasa melihatnya dengan mata telanjang, tentu aktivitas kehidupan berakhir sudah. Mati sebelum waktunya,
Saya yakin pemerintah pun bermaksud demikian. Melakukan update data COVID sebagai bentuk kewajiban, pertanggungjawaban. Mengenai di mana saja sebaran secara detailnya, tak perlulah gunakan infografis. Â Itu bisa membuat warga makin meringis,ketakutan yang tak habis-habis. karena data yang disajikan disertai deskripsi dan paparan yang membuat orang enggan dan takut beraktivitas keluar rumah.
Biar saja, para petinggi yang tahu, kita warga gak usah terlalu detil. Berat dan bakal gak kuat menanggung  akibatnya. Terlalu banyak tahu  dalam hal ini, akan membuatmu mati kutu. Semoga memang benar adanya, corona sudah tidak ada, karena kita sudah "berdamai" seperti pesan Pak Presiden. Menerimanya sebagai bagian dari hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H