Aroma tungku-tungku pembakaran yang memenuhi indra penciuman, pemandangan asap mengepul membumbung tinggi menyentuh langit, memutih menutupi sinar matahari yang hendak kembali ke peraduannya. Satu persatu lentera menyala menerangi jalanan di sepanjang pesisir pantai. Bangunan padat dan rapi menjulang setinggi dua tumpukan. Inikah kota pelabuhan? Sebelum tiba di ibu kota kerajaan, pelabuhan adalah pintu gerbang bagi siapa saja yang berkunjung dari luar pulau utama. Butuh waktu tiga hari hingga Bell dan Rossie sampai. Melelahkan. Jalanan bercampur pasir berganti dengan bongkahan batuan tertata rapi menggiring langkah kaki untuk mengikuti.
"Ke mana tujuan kita sekarang?"tanya Bell cemas.Â
"Ikuti saja aku," ucap Leon percaya diri. Pemuda urakan dengan sepatu boots cokelat penuh dengan bekas retakan itu memimpin perjalanan. Rossie dengan senang hati mengikuti lelaki itu. Berbeda dengan Bell. Meskipun dia memutuskan untuk ikut, tapi hati kecilnya begitu ragu jika harus mengikuti Leon.
Bell menghentikan langkah kakinya. "Tidak! Aku harus tahu ke mana kita akan pergi."Gadis itu sedikit menunduk dan mengusap luntutnya. "Aku lelah,"
"Berhentilah merengek, Bell," ucap Rossie dengan nada tinggi.Â
"Hei, Rossie! Apa kau tidak curiga sedikitpun dengan laki-laki itu,"tunjuk Bell pada Leon. "Apa kau tidak takut kalau ternyata kita akan dijual?"
"Aku mendengar ucapanmu, Nona!"ucap Leon. "Kalau kau tidak mau ikut denganku. Pergi saja kemanapun kau mau."
Bell mendengus kesal.
"Kenapa kau begitu kasar pada Bell? Bukankah aku dan Bell datang atas saran darimu? Atau mungkin ucapan Bell benar?"
"Baiklah aku minta maaf. Di sini harus aku luruskan. Yang pertama aku tidak membawa kalian, justru kaulah yang memintaku membawamu dan saudarimu keluar dari pulau," tunjuk Leon. "Dan yang kedua. Aku punya banyak uang, jadi untuk apa aku menjual kalian?"