"Mbak bercanda?" Nada bicara Ahmad mulai berubah tidak ramah kepada Zulfa. "Kita udah nyiapin pernikahan ini dari bulan lalu terus tiba-tiba dibatalkan gitu aja?"
"Kamu ngerasa punya salah nggak sama Yanti, harusnya kamu juga mikir dong, nggak mungkin dia kaya gitu kalau nggak ada masalah. Terus, kamu udah ke rumah dia belum? Tanya apa gimana ke keluarganya?"
Ahmad terdiam. Dia sadar jika dia belum melakukan semua itu. Dia fokus entah pada apa hingga lupa kalau dia dan Yanti terakhir berkomunikasi berakhir dengan Yanti menutup teleponnya. Setelah itu berhari-hari Ahmad tidak menghubungi Yanti.
"Udah pasti kamu punya salah, makanya sekarang diem."
Tepat sebelum subuh di hari pernikahan, Yanti pulang. Semua orang yang terlibat dalam acara pernikahan itu sudah gusar dan putus asa mencari Yanti.
"Kamu kemana aja, Yan?" ucap Bibi Mun sambil memeluk Yanti.Â
"Aku nggak kemana-mana, kok, Bi. Cuma pengen sendiri aja."Â
Akad nikah segera dilangsungkan. Semua orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi sakral tersebut. Hati Ahmad begitu gelisah. Hingga satu jam yang lalu seseorang memberi kabar jika akad harus tetap dilangsungkan, Â Yanti baik-baik saja dan jadilah suami yang baik. Tentu saja itu pesan dari Zulfa dengan sebuah foto yang dilampirkan.Â
Yanti tengah memeluk Zulfa. Di sebuah kamar pengantin.Â
"Aku sungguh meminta maaf, meski sebuah kata maaf saja tidak akan cukup untuk mengobati luka yang sudah terlanjur membekas itu," ucap Ahmad di lain kesempatan. "Aku tidak mau menunda meminta maaf, karena sebenarnya ini saja sudah sangat terlambat. "
"Aku tidak apa-apa. Â Lupakan saja, Â aku hanya berharap setelah ini hanya ada aku dan kamu dalam versi terbaik dari diri kita