Mohon tunggu...
Umiyamuh
Umiyamuh Mohon Tunggu... Novelis - Seorang Penulis

Bukan orang penting, hanya seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Zalimar

4 Januari 2024   20:32 Diperbarui: 4 Januari 2024   20:51 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya ampun, Za! Kamu mencuci beras sampai jernih seperti itu?" teriak Amah.

Zalimar menoleh. Suara bibinya itu hampir memecahkan gendang telinganya. "Loh, jadi nggak boleh sampai jernih?" 

"Lebih baik jernih, Za. Biar lebih bersih," ucap Yanti.

"Pantas saja kamu nggak nikah-nikah, Za. Hal kaya gini aja kamu nggak tau. Mencuci beras itu nggak perlu sampai airnya jernih begitu. Biar masih tersisa nutrisi dalam kulit ari si beras," ucap Amah menasihati.

"Terima kasih,  Amah sudah memberi tahu, Za." Zalimar kemudian meninggalkan Amah dan Yanti untuk segera menanak nasi. Ayah adalah istri dari Kakek Zalimar sedangkan Yanti adalah anak bungsunya. Meskipun Amah adalah istri dari kakeknya Zalimar, tapi gadis itu bukan cucunya. Zalimar adalah cucu satu-satunya dari anak satu-satunya Kakek Amar dari istri pertamanya. 

Mereka tinggal di rumah yang sangat besar. Ada 30 orang yang tinggal di sana dan Zalimar adalah salah satunya. 

Baca juga: Kau Pergi Saja

"Menikahlah kau, Zalimar. Jangan jadi beban keluarga ini terus. Kau tau, 'kan jika bibimu akan segera pulang," ucap Amah. Semua orang yang tengah menyiapkan makanan terdiam dan menatap Zalimar tajam. Tapi gadis itu hanya tersenyum. 

"Aku akan menikah jika memang sudah waktunya, Amah. Lagi pula aku tidak keberatan jika harus berbagi kamar dengan bibi."

Amah membanting sendok.

"Ada apa ini?" tanya Kakek Amar. Semua terdiam tidak ada yang berani berucap. 

Amah mendekati Amar. "Nikahkanlah Zalimar. Aku sudah muak melihat dia di rumah ini."

"Kenapa?" Kakek Amar kebingungan. 

"Apanya yang kenapa? Usianya sudah semakin tua, pendidikan sudah selesai, apa lagi yang kita tunggu?" ucap ah dengan meluap-luap.

Setelah kejadian itu, Zalimar jadi jarang keluar kamarnya. 

"Setengah dari rumah ini adalah hak Zalimar, bukan? Aku benci fakta itu, tapi sekarang Nenek dengan terang-terangan begitu ingin mengusir Zalimar," ucap Bibi pertama di depan kamar Zalimar. 

"Jangan kencang-kencang nanti Zalimar dengar."

Zalimar sudah mendengar semuanya. Kedua bibinya itu sebenarnya sengaja dan Zalimar juga tahu itu. Tidak ada satu anggota keluarga pun yang berpihak kepadanya, bahkan kakeknya. Kata orang hanya Kakek keluarga Zalimar, tapi bukankah para Bibi dan Paman juga seharusnya saudara meskipun mereka tidak dari Ibu yang sama dengan ibunya Zalimar. Tidak, di rumah itu bahkan tidak ada satupun yang berada di pihak Zalimar. Kalau bukan karena surat wasiat yang dibuat ibunya, mungkin Zalimar sudah sejak lama meninggalkan tempat itu.

"Kamu mau ke mana, Za?"

Zalimar menoleh. Ternyata  Dzul dengan sapu di tangannya. Sepertinya ini jadwal dia dan keluarganya untuk membersihkan halaman belakang. 

"Aku akan pergi ke rumah Ambuku." Ambu adalah sebutan Zalimar kepada Bibi dari ayahnya. Rumahnya cukup jauh di luar kota.

"Apa kau akan kembali?" Wajah Dzul terlihat berbinar mendengar Zalimar akan pergi. "Lebih baik jangan kembali karena bisa saja setelah kau kembali, kamar ini sudah jadi kandang ular-ularku."

Zalimar tidak menjawab, karena itu hanya akan menimbulkan perdebatan dan membuat dia lebih terseret dalam masalah yang tidak pernah ada habisnya. Semua barang sudah dia kemas rapi dalam kopernya, jika dia tidak kembalipun itu tidak akan jadi masalah.  Tapi Zalimar tidaklah bodoh, surat tanah atas nama dirinya dan semua surat berharga sudah di tangannya. Dan sebelum dia pergi sebagian miliknya itu telah di jual. Zalimar pergi jauh hingga keluar pulau, berkelana dan menikmati kebebasannya. Sementara Nenek Amah jatuh sakit setelah tahu, separuh dari rumah dan tanah yang dia tempati sudah di jual oleh Zalimar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun