"Terima kasih, Pak!" ujarku sambil secepat kilat berbelok dan meninggalkannya sendirian. Hanya ada satu jalan lagi menuju rumahku dari arah sini. Melewati tengah makam Gang Jati. Di sana ada sebuah jalan setapak yang melewat tengah makam dan tembus ke sebuah jembatan kecil yang menghubungkan ke komplek di seberang.
Langkahku semakin panjang membelah malam, menyusuri rumah-rumah petak kontrakan yang sedang terlelap dipeluk sepi. Angin malam yang dingin menjatuhkan sisa-sisa air hujan ke wajahku. Cabang-cabang pohon yang meranggas terlihat seperti cakar-cakar setan yang siap mencengkeram batang leher. Srek srek, sebuah bayangan terasa berkelebat di belakangku. Aku semakin mempererat cengkeraman pada benda kotak panjang di saku jaket. Alat penyetrum ini memang selalu kubawa saat bepergian sendiri.
Petak terakhir rumah kontrakan yang ada gerobak mie ayam di depannya aku lewati. Nisan pertama, kedua, ketiga, pohon kamboja, pohon kelor, dan terakhir gundukan tanah merah yang bertabur kembang tujuh rupa juga berhasil aku lalui. Makam siapakah yang harum bunganya masih tercium begitu menyengat itu?
Aku bergidik ngeri memikirkan nasib malang sosok yang terbaring di dalamnya. Apa yang sedang ia lakukan di dalam? Jerit ratusan ekor kelelawar membuat nafasku nyaris terhenti. Sesosok bayangan hitam dari atas gerumbul pohon ara tua terbang ke arahku. Secepat kilat tangan kananku mengeluarkan kotak persegi panjang berwarna perak dari kantung jaket, memencet tombol dan menyambut arah datangnya bayangan tadi.
Sebuah lengkingan panjang tertinggal di belakangku saat aku berlari keluar dari makam dan berhasil menjangkau mulut jembatan. Saat kaki kananku menginjak besi jembatan, tiba-tiba sosok hitam garis-garis terlihat bergelung malas menghadang jalan.Â
"Astaghfirullah, ulo welang," bisikku. Banjir yang merendam komplek sampai ujung jembatan membuat ular ini keluar dari sarangnya dan mencari tempat aman. Tapi ular welang? Aku mengambil langkah surut ke belakang dan berbelok ke arah pemukiman penduduk. Dengan nafas memburu dan kaki yang nyaris mati rasa, aku berhasil menjauh dari jembatan dan menyusuri pinggiran makam Gang Jati.Â
Tiba-tiba mataku terpaku pada seorang pemuda yang sedang duduk main gaple sendirian di pintu masuk makam. Mungkin dia penjaga makam, pikirku. Tiba-tiba mau anyir darah tercium begitu kuat dari arah dia duduk, beberapa meter di depanku. Manik matanya berubah merah dan meneteskan darah. Demikian juga dengan jaket hitam yang ia kenakan, terlihat robek di sana-sini dan penuh darah hitam yang sudah mengering.
Sinar bulan yang sedari tadi tersembunyi di balik gelayut awan tiba-tiba menyinari wajah pemuda itu. Kepalanya seketika terbelah dan terjatuh dan menggelinding ke sebelah kakiku. Aku terpekik dan belari kencang menuju ujung gang yang berada di pinggir jalan raya.
Tubuhku nyaris terhempas di trotoar, dan terselamatkan oleh tanganku yang menjangkau sebuah tiang bambu. Aku berusaha berdiri dan terpegang oleh sebuah kertas minyak berwarna kuning yang bertuliskan.Â
Innalillahi wainnailaihirojiun
Meninggal dunia dengan tenang