Jam telah menunjukkan pukul 01.30 dini hari saat aku turun dari bus Transjakarta yang membawaku dari stasiun Cawang. Bergegas kutapaki koridor jembatan penyeberangan menuju halte Kuningan Barat. Bunyi ketukan sepatu memantul terbawa angin malam yang terasa begitu dingin meraba tengkuk. Langit Jakarta yang seharusnya ramai terasa begitu kosong dan gelap menggayut di sana.Â
Aku mempercepat langkah menyusuri lorong yang terasa tak berujung. Tak ada seorang pun di sana, hanya ada aku dan suara langkah tanpa sosok yang mengikuti dari belakang. Tak mungkin ada hantu di belantara beton ini. Kemungkinan terakhir adalah seseorang yang sedang mengambil kesempatan dari pejalan yang tersesat sendirian seperti aku. Aku bergidik. Usahaku untuk mengetahui sosok penguntit itu sia-sia belaka.Â
Setengah berlari aku berusaha mencapai pintu masuk halte. Di sana pasti aman karena selalu ada petugas di pos. Saat aku menempelkan kartu untuk membuka palang halte, aku melirik ke arah petugas yang ada di balik kaca. Jantungku nyaris terlepas dari tempatnya bergantung. Lelaki yang tadi kulihat ada di depan layar monitor telah berdiri di sebelahku dengan jaket dan kacamata serba hitam. Dengan nafas tersengal aku berlari menuruni tangga berkelok yang arahnya berbalik ke jurusan aku datang tadi.
Aku berdiri dengan kaki gemetar di halte Kuningan Barat. Hanya ada satu penumpang laki-laki yang berdiri mematung di ujung. Astaghrfullah, sosok tinggi besar berjaket dan kacamata hitam itu bukankah yang tadi di sebelahku saat di pintu masuk? Kenapa dia sudah ada di sini?
Aku mengeratkan jaket dan memasukkan kedua tangan ke saku. Teraba dingin di tangan kanan sebuah korek api gas yang berfungsi ganda. Jarum panjang jam di dinding halte telah bergeser ke angka 9, saat bus yang aku tunggu tiba. Aku segera meloncat ke dalam dan duduk di depan, di bagian wanita. Aku menghela nafas lega. Siapa laki-laki misterius di halte bus tadi? Semoga dia tak mengikutiku sampai ke dalam bus.
Beberapa menit perjalanan, aku sudah sampai di halte terakhir yang hanya berjarak satu halte. Aku meloncat ke lantai besi yang dingin dan bergegas menaiki tangga dan berbelok ke kiri, lalu menuruni anak tangga yang sebagian sudah berkarat. Sampai di pangkalan ojek suasana terasa semakin sepi dan mencekam. Tak ada seorang tukang ojek pun di sana.
Aku memutuskan akan berjalan kaki melewati jalan tembus membelah komplek menuju rumahku. Melewati jalan raya Kapten Tendean bukanlah pilihan yang baik karena akan melewati Makam Pulo yang angker.Â
Bergegas kuseret kaki memasuki gang di sebelah kantor dealer mobil asal Jepang yang sangat megah, melewati masjid, dan mataku terpaku pada deretan kursi yang terpasang di tengah jalan masuk komplek. Sebuah tulisan di karton yang samar terbaca 'KOMPLEK BANJIR'.
"Banjir, Mbak!"
Sebuah suara parau mengagetkanku. Kucari sumber suara dari balik tumpukan kursi dan beberapa motor yang terparkir di sana. Tiba-tiba saja, sesosok berkelumun sarung terlihat duduk di atas jok motor. Cepat sekali orang itu datang, apa mataku memang kurang fokus hingga tadi tak melihatnya?Â