"Kangen."
Kubaca satu pesan teratas dari ratusan pesan masuk di kontak surel bernama Suryo Kusumo. Sebenarnya aku ingin sekali membuka semuanya, lalu membalas seperti kebiasaanku dahulu. Tapi segalanya sudah tak sama lagi sejak Imlek beberapa tahun lalu.
***Â
"Kinan, kamu nggak pulang?" Sebuah suara mengagetkanku yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tamu yang biasanya selalu berisik. Dari sepuluh orang anak kost yang tinggal di rumah ini, hanya aku yang tidak pulang di malam Minggu. Ternyata Mas Narto, cucu ibu kost yang sudah rapi jali. Sepertinya hendak pergi jalan-jalan.
"Enggak, Mas."
"Ikut nonton wayang, yuk. Kita naik dokar rame-rame."
Aku pun dengan antusias menerima tawaran pemuda yang masih duduk di bangku SMA itu. Tubuhnya yang tinggi atletis terlihat seperti seorang kakak yang baik bagi gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP seperti diriku.Â
Kami naik dokar berempat. Aku, Mas Narto, dan dua orang tetangga yang belakangan aku ketahui bernama Mas Suryo dan Mas Tejo. Kedua pemuda bermata sipit ini keturunan Thionghoa. Mereka kakak beradik yang rumahnya di sebelah rumah induk semangku, nenek Mas Narto.
Aku duduk diam di pojokan, di belakang pak kusir, di sebelah Mas Suryo. Dokar berjalan perlahan menembus dinginnya kota kecil yang berada di kaki Sindoro - Sumbing ini. Kami menyusuri jalan dari tempat kosku di Kerkop, melewati jalan di atas kelas jauh SMP tempatku menuntut ilmu, lalu berbelok ke arah Jl. A. Yani dan berhenti di sebuah bangunan bernama Kelenteng Hok Hoo Bio.
"Mas, kok nonton wayangnya di sini?"Â
Ketiga pemuda yang berjalan di sampingku tertawa serempak. Aku curiga, jangan-jangan mereka mau mengerjaiku? Karena Mas Narto sekalipun baik dia terkenal jahil dan suka mengganggu anak kost yang semuanya perempuan.