"Lhaiyo, kita kan mau nonton wayang potehi, Kinan!" jelas Mas Suryo yang berjalan di sampingku. Entah kenapa malah teman Mas Narto yang selalu di dekatku. Tapi kelihatannya dia baik dan sopan. Matanya yang sipit selalu terlihat ikut tersenyum setiap kali berbicara. Dia cukup tampan, dan yang penting sepertinya nggak terlihat suka iseng seperti temannya yang tiba-tiba berbalik dan nyengir di depanku.
Wayang potehi? Wayang apaan sih? Aku baru dengar. Setahuku wayang itu ya cuma wayang kulit, wayang golek dan wayang wong. Aku biasa nonton semalam suntuk di kampung kalau ada pesta pernikahan. Atau mendengarkan siaran radio di RRI.
Sebenarnya aku nggak terlalu paham dengan jalan ceritanya. Tapi setiap kali ketiga pemuda yang berdiri di sampingku bertepuk tangan dan tertawa, aku ikut aja. Kan nggak enak, tho, udah diajak jalan-jalan nggak menghargai.Â
Sejak saat itu, aku dan Mas Suryo menjadi akrab. Ada saja alasan yang membuatnya bisa mengajak aku dan Mas Narto untuk pergi. Kadang hanya sekedar joging keliling alun-alun lalu menikmati serabi, tempe kemul atau megono di sekitar alun-alun. Sebagai anak paling kecil di tempat kost yang tentu tidak memiliki pacar seperti teman lain, aku nurut aja.
Mbah Sam, nenek Mas Narto, ibu kostku bahkan selalu menyuruhku untuk mengikuti ajakan cucunya jalan-jalan setiap kali sendirian di tempat kost. Mungkin sebagai kompensasi karena aku biasa dia suruh-suruh dari memasukkan benang ke jarum, membelikan sarapan pagi sampai memijat. Nasib anak kost, hiks.
Tahun 1994 aku lulus SMA dan pindah ke Jakarta untuk kuliah. Hubungan persahabatan kami, aku, Mas Narto, dan Mas Suryo tetap berlanjut dengan saling berkirim surat. Sampai akhirnya tinggal aku dan Mas Suryo yang masih saling berkirim kabar lewat email.Â
Saat itu, di bulan Februari tahun 2000 di tahun baru Imlek, dia menyatakan cintanya lewat email kepadaku.Â
Aku jatuh cinta padamu sejak tertawa bersamamu di Kelenteng Hok Hoo Bio
Salam kangen,
Mas Suryo
Sejak saat itu aku tak pernah membuka email yang selalu dia kirimkan. Aku tak bisa menyangkal perasaanku. Sepertinya aku juga mencintainya. Susah payah aku berusaha untuk membunuh rasa rindu yang selalu datang, menghapus semua kenangan manis bersamanya.