Gerimis baru saja reda saat aku menginjakkan kaki di Stasiun Cawang Jakarta Selatan. Jam di pergelangan tangan telah tergelincir dari angka dua belas. Bergegas aku melewati pintu keluar yang menuju ke terowongan. Hal ini mengingatkanku pada cerita horor tahun 2000-an saat aku nyaris tersambar kereta api. Aku janji akan mengisahkan pengalaman mengerikan itu di cerita misteri terbaruku minggu depan.
Aku mempercepat langkah saat melintasi terowongan sempit berpagar anyaman besi yang hanya muat satu orang. Tak ada orang lain di sana, baik di belakang maupun di depanku. Dibanding suasana tahun 2000-an, ini jauh lebih baik dan nyaman, karena sudah terpasang pagar dan lampu. Tapi berjalan di sini sendirian saat dini hari bukanlah pilihan tepat bagi perempuan sepertiku.
Bergegas aku menaiki tangga berundak menuju jalan raya. Beruntung, di warung kopi ada beberapa tukang ojek yang sedang tidur. Aku pun segera mendaki dan sampai ke pinggir jalan raya, beberapa meter dari Menara Saidah yang terkenal sebagai tempat misteri bersarang. Tempat yang gelap, sendirian, membuat nyaliku seketika ciut. Beberapa menit aku berdiri di sana, sampai sesosok tubuh berkelebat dan terlihat berjalan mendekat.Â
Mulutku tercekat, bibirku terasa kelu saat aku paksa melafalkan ta'awuds dan bacaan basmalah.
"Mbak, mau ke mana?" tanya sosok hitam itu dari kejauhan. Fiyuh, lega rasanya. Ternyata dia manusia, dan sepertinya petugas security Menara Saidah. Terlihat dari seragamnya yang berwarna hitam.
"Mau nunggu bis ke Mampang, Pak," sahutku gugup.
"Udah nggak ada, Mbak. Udah lama. Jalan kaki aja ke halte, terus naiki jembatan. Nah, nanti naik busway aja di sana, turun di Kuningan Barat," lanjutnya memberikan arahan jalan sambil menunjuk halte yang tak terlihat karena terhalang crane. Aku pun mengikuti gerakan tangannya sampai ke halte Transjakarta yang ada di tengah jalan MT. Haryono Tebet di depan Menara Saidah.
Saat ingin mengucapkan terima kasih, aku menoleh ke arahnya berdiri tadi, beberapa meter di belakangku. "Terima ...." Kata-kataku menggantung di udara. Sosok berbaju hitam itu lenyap meninggalkan udara dingin dan kesiur angin yang menguarkan hawa kematian.
Sontak lututku lemas seperti tak bertulang. Beberapa detik aku hanya bisa mematung tak tahu harus berbuat apa. Setelah bisa bernafas kembali aku paksa otakku agar tetap sadar.
Bismillahirrahmanirrahiim, jangan pingsan jangan pingsan. Sekuat tenaga aku berusaha menyeret kaki yang terasa berat terpaku dengan pinggir jalan MT. Haryono ini. Aku berusaha berlari sebisa mungkin, menembus gelapnya malam, ke arah jembatan penyeberangan.Tiba-tiba tubuhku membentur benda keras.
"Allahu Akbar Allahu Akbar!" Apalagi ini? Mungkinkah hantu security itu menyusulku? Atau malah genderuwo? Aku mendongak. Ternyata tubuhku terbentur crane yang sedang terparkir di pinggir jalan, dekat tangga yang menuju jembatan penyeberangan. Aku mempercepat langkah dan berusaha agar secepat mungkin bisa mencapai halte Transjakarta dan meninggalkan tempat yang terkenal angker dan penuh kisah misteri itu.
Teringat artikel yang aku baca di koran online tentang cerita horor seputar Menara Saidah. Selain karena miring, gedung berasitektur kuno bergaya Yunani ini kabarnya dihuni banyak hantu. Kabar yang beredar menceritakan bahwa Menara Saidah dibangun di atas lahan kuburan yang beberapa jenazahnya belum dipindahkan secara layak.
Jadi wajar saja kalau masyarakat sekitar sering melihat adanya penampakan hantu seram di Menara Saidah. Di tempat angker itu juga sering ada penampakan kuntilanak berbaju merah. Menurut cerita, seorang satpam gedung pernah diminta mengantarkan seorang perempuan berbaju merah ke lantai empat belas. Setelah sampai ke tempat tujuan, wanita itu pun menghilang.Â
Selain hantu berbaju merah, masih ada keranda mayat yang terbang dan muncul secara tiba-tiba, hantu penunggu lift, hantu Rubanah yang usil, dan beberapa cerita horor dari penduduk yang tinggal di belakang menara. Teringat kisah-kisah misteri ini bulu kudukku meremang. Serasa ada yang menyumbat dua kantung udara yang ada di dadaku hingga nafasku semakin ngos-ngosan. Dan sekarang nambah lagi, hantu security, hiii, batinku semakin ketakutan.
Aku pun berlari kencang dan berhenti di tengah jembatan penyeberangan. Seperti ada yang menggerakkan kepalaku, reflek aku menoleh ke arah jendela-jendela Menara Saidah yang gelap dan dingin. Darahku berdesir, sepertinya ada sesuatu yang bergerak di balik kaca yang menghadap ke arahku.
Di sana, di belakang jendela gelap itu terlihat bayangan putih bergerak, bergoyang-goyang tertiup angin malam. Bulu kudukku meremang. Ya Allah, tolong akhiri teror menakutkan ini. Aku pun kembali membuang pandangan ke arah jalan raya yang terlihat sangat sepi dan mencekam.
Kuseret langkah dan mencoba berlari ke tengah jempatan penyebarangan dan berbelok memasuki pintu masuk halte. Beruntung ada seorang petugas di pos jaga yang sedang tepekur memandang layar monitor. Setelah menempelkan kartu e-money, aku pun bergegas turun ke halte. Beruntung ada bis yang datang.Â
Tanpa sudi memandang ke arah Menara Saidah yang horor dan penuh cerita misteri, aku melompat ke dalam bis yang akan membawaku pulang. Masih ada tiga makam angker yang harus aku lewati setelah turun di halte transjakarta menuju rumahku yang aman dan nyaman. Suatu saat nanti, aku akan berkisah kembali di cerita misteri terbaru tentang petualangan hororku malam ini.
Pesanku, jangan pernah melewati terowongan stasiun Cawang dan Menara Saidah dini hari, sendirian, atau akan ada yang berusaha datang menemanimu. Selalu waspada dan bekali dirimu dengan doa-doa terbaik.
Â
(Tamat)
Jakarta, 15/11/2020
Sumber gambar: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H