"Mana Nancy?" tanyaku berusaha menginterogasi Lusi yang tertunduk gemetar di pos ronda komplek. Gadis berusia tiga belas tahun itu terlihat seperti tante-tante dengan bulu mata palsu, gincu merah merona dan bedak tebal. Aku nyaris tak mengenalinya, jika saja mantan muridku itu tak memanggil terlebih dahulu. Melihatnya dengan penampilan seperti itu, seperti membuka sebuah catatan kelam yang ditulis dengan darah dan air mata.
"Nancy lagi buka kamar, Bu," sahutnya sambil berusaha menghapus pemerah bibirnya dengan tisu.
Aneh-aneh aja istilah jaman sekarang. Apa itu semacam jadi pembantu untuk bersih-bersih di kontrakan atau kos-kosan? Batinku.
"Buka kamar? Apaan itu?"
"Itu, Bu. Open BO."
Aku berjengit saking terkejutnya, nyaris tak percaya atas ucapan Lusi. Ah, paling juga dia bohong. Aku yakin itu, karena Lusi dan Nancy itu setali tiga uang, jago berbohong. Bahkan belum lama mereka pura-pura polos, tapi diam-diam mencuri handphone di rumahku.
"Jangan bohong, deh. Ibu nggak suka sama pembohong!" sergahku kesal.
"Bener, Bu. Lusi nggak bo'ong. Minggu depan dia baru balik."
"Astaghfirullah!" Aku hanya bisa menyebut asma Allah. Hatiku teriris, seperti ada sembilu yang menyayat-nyayat dan melubangi hatiku. Perih! Anak usia dua belas tahun sudah terjun ke dunia hitam?
Bahkan di sinetron Kumenangis pun, aku belum pernah menonton kisah seperti itu. Ini ada di depan hidungku sendiri. Allah, kehidupan seperti apa ini?