Kisah seram ini bermula saat aku membeli sebuah rumah tua di gang buntu. Rumah berlantai dua dengan tiga kamar tidur itu djual dengan sangat murah, terlalu murah untuk ukuran jantung kota jakarta.
"Sering ada suara kuntilanak, makanya yang ngontrak nggak pada betah," terang Mang Ujang, lelaki tua dengan kumis melintang dwi warna.
"Kata Tante Sonya yang ngontrak terakhir sih, sering ada penampakan, makanya baru sebulan udah pindah. Padahal udah bayar setahun," ujar Bude Minten, tukang sayur dengan aksen Jawa-nya yang khas.
Apakah aku takut? Tentu saja! Aku pun segera melaporkan hasil investigasi perhantuan dari para tetangga. Hasilnya, lelaki itu hanya tertawa, menertawakan kebodohanku. Menurut mantan pacarku itu, di belantara Jakarta nggak bakalan ada hantu. Yang ada hantu berkepala hitam, yang sering lebih jahat dari setan.
***
Suatu malam - kalau tak salah ingat malam Jum'at - aku terbangun untuk buang air kecil sekaligus mengambil air wudlu untuk sholat tahajud. Saat menyibak gordyn kamar, sesosok bayangan terlihat melintas ke arah tangga yang terletak berhadapan dengan pintu kamar mandi. Aku terkesiap, melongokkan kepala ke arah tangga, berusaha menajamkan penglihatan. Tak ada apa-apa di sana.
Bulu kudukku meremang. Teringat kata-kata tetangga tentang hantu di rumah ini. Pantas saja rumah ini dijual murah, pasti karena berhantu! Hii ... aku bergidik ngeri, berlari ke arah suamiku yang sedang mendengkur di atas ranjang.
"Mas! Mas! Bangun!"
"Ada apaan sih, berisik banget!" sahut pria itu malas, meregangkan tubuh, dan memeluk guling.
"Ada hantu!"
"Halah, dasar penakut! Makanya jangan suka dengerin omongan tetangga!" ujarnya tak peduli dengan detak jantungku yang berloncatan dan keringat dingin yang mulai menitik dari kening.
Tiba-tiba terdengar suara garukan dan geraman dari arah tangga. Aku pun segera meringkuk di bawah selimut, mencoba memejamkan mata dan merapalkan semua doa yang kubisa.
Praang ....
Suara-suara benda berjatuhan kembali terdengar. Kali ini dari arah dapur! Jantungku nyaris copot. Kucengkeram tubuh sosok berkaus oblong dan bercelana kolor di sampingku. Kupaksa dia bangun dan melihat hantu yang bergentayangan di dapur.
Aku berjalan mengekor, terseok-seok bersembunyi di balik tubuh tegapnya. Sesampainya di dapur, tak terlihat ada satu pun benda di lantai. Saat akan meninggalkan dapur, sudut mataku menangkap dua buah panci yang tergantung di dinding belakang meja kompor sedikit bergoyang.
Malam demi malam aku lalui dalam ketakutan dan terror. Berkali-kali aku seperti melihat sosok hitam berkelebat ke arah bawah tangga. Yang paling menyebalkan, ketakutanku hanya jadi bahan olokan lelaki yang aku cintai. Dasar laki-laki, nggak punya perasaan! Geramku kesal. Â
***
Malam ini suamiku harus lembur karena teman satu timnya cuti karena harus menemani istrinya melahirkan di rumah sakit. Terpaksa aku harus menghabiskan hari Kamis ini dengan membaca situs Risalah Misteri. Walaupun suami sudah berulangkali melarang karena aku penakut, aku tak peduli. Daripada kesepian kan? Kata orang salah satu penyebab kematian terbesar adalah kesepian.
Tiba-tiba dari arah tangga terdengar geraman lirih, disusul suara garukan dan cakaran. Ototku mengejang. Aku segera bergelung di bawah selimut tebal, tapi suara-suara mengerikan itu tak juga hilang.
Entah dapat dorongan dari mana, tiba-tiba aku terlompat dari atas kasur dan menyambar stik golf yang ada di sudut kamar. Dengan menahan nafas, aku berjalan mengendap-endap ke depan buffet.
Dalam keremangan, terlihat sosok makhluk berwarna hitam, mengawasiku dari bawah tangga. Sontak aku meloncat dan menyabetkan logam panjang yang aku pegang. Aku pun jatuh berdebam bersamaan dengan suara cicitan panjang.
"Tikus sialan!"
(Tamat)
Jakarta, di bawah tangga tua, 21/10/2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H