Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kidung Cinta Putri Mandalika

13 November 2021   18:11 Diperbarui: 29 November 2021   20:20 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku pernah nyaris menikah. Kami saling mencintai. Tapi ...." Kata-katanya menggantung di udara. Dadanya yang tertutup tunik berwarna hitam polos khas pakaian gadis suku Sasak terlihat turun naik tak beraturan. Matanya yang bulat mengerjap, lalu memandang nyalang ke arah laut lepas.

Puteri mendesah berat, seperti berusaha melepaskan beban yang memasung paru-parunya. "Kami saling mencintai, tapi ... aku tak bisa memilihnya untuk menjadi suamiku."

"Orang tuamu tak mengizinkan?"

"Bukan. Saat ia melamarku, tak dinyana banyak pemuda lain, yang tak kalah tampan, semua dari keluarga bangsawan. Aku tak punya alasan apapaun untuk menolak mereka dan memilih pangeranku," bisiknya kelu. Suaranya menelusup gendang telinga, menyayat hati, seperti tangisan lara ombak yang selalu merindukan pantai, tapi tak pernah bisa bersatu.

"Lalu?"

Ia tak menjawab pertanyaanku. Tubuhnya yang tinggi semampai bangun dari ayunan, berjalan gontai ke tengah ombak yang segera saja menjilati kaki telanjangnya. Rambutnya berkibar menguarkan bau harum laut yang segar.

Gegas, aku segera menyusul dan berdiri di sampingnya. Naluriku sebagai lelaki begitu ingin melindunginya, memeluk bahunya yang ringkih dan mengusap air matanya yang berkilauan seperti mutiara Lombok. Tapi, aku hanya berdiri sejengkal di sampingnya, mengulurkan sapu tangan dan menepuk bahunya.

"Terima kasih, sudah mau mendengarkan kisahku." Suaranya mengalun lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan, dan tersenyum ke arahku.

Aku hanya mengangguk. Sejuta kata-kata yang kusiapkan untuk menghiburnya tertelan kembali, terkalahkan oleh debur aneh yang bertalu-talu di dada.

Sejak saat itu, selama seminggu, kami selalu bertemu menjelang senja. Kami menghabiskan waktu bersama, menyusuri garis pantai Mandalika. Sepertinya aku telah jatuh cinta, bukan hanya pada pantai berpasir putih selembut beledu, laut biru, juga pada sosok Puteri yang ayu bak peri laut yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku.

Suatu senja, selepas berjalan-jalan, kami duduk bersisian di atas batu karang, di bukit Mersese. Laut biru di kejauhan telah berubah warna menjadi tembaga. Angin pantai yang dingin menguarkan aroma laut yang wangi dan mistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun