Kami tak tahu namanya, jadi kami menyebutnya nenek bermata perak karena kedua bola matanya keperakan terkena katarak. Awal perkenalan kami di sebuah gang sempit. Waktu itu, dia dengan terbungkuk-bungku, berpegangan pada dinding rumah, berjalan di depan kami. Aku dan dua anak kembarku dengan sabar mengikutinya dari belakang.
"Ibuk, kita permisi aja ya?" Salah satu dari anak kembarku memberikan usulan. Dia lelah karena harus berjalan dengan kecepatan seekor siput.
"Sabar ya, Dek. Kita tetap nggak bisa nyalip. Pertama, nggak muat. Kedua, Rasulullah mengajarkan kita untuk menghormati nenek-nenek."
"Kok, Ibuk tahu?"
"Menurut riwayat, saat hendak mengimami salat subuh, Rasulullah memperlama rukuknya karena Sayyidina Ali terlambat datang ke masjid. Beliau terlambat karena di depannya ada kakek-kakek Yahudi yang jalannya lama kayak nenek di depan itu."
Si Kembar pun paham akan penjelasanku. Kami mengikuti perempuan renta bungkuk yang menyeret tubuhnya - berpegangan pada dinding - sepanjang gang senggol yang dipagari rumah-rumah penduduk. Lalu ia berbelok ke kiri, lurus, dan sampailah kami pada sebuah undakan.Â
Dengan susah payah ia meletakkan tongkatnya, merangkak menaiki dua undakan. Setelah sampai di atas, ia berusaha bangkit dan meraih tongkat. Tangannya yang ringkih tak mampu mengangkat beban tubuh. Aku berlari menyambar ketiaknya dan membantunya bangkit. Si Kembar meraih tongkat dan memberikan ke tangan kirinya.
Keringat membasahi keningku. Ternyata tubuh nenek itu lumayan berat. Nyaris saja kami jatuh bersamaan. Setelah berhasil bangkit, ia meraih tongkat menggunakan tangan kiri, dan tangan kanannya berpegangan pada dinding rumah. Kami pun memulai obrolan.
"Terima kasih banyak, Nak. Maaf Nenek sudah merepotkan. Silakan kalau mau jalan duluan, kasihan kalau harus nunggu Nenek."
Kami dengan halus menolak dan bersikukuh akan mengantarnya sampai ke rumah. Itulah awal perkenalan kami. Si Kembar yang sudah tidak memiliki nenek sangat senang. Mereka berdua merasa memiliki nenek kembali. Ternyata nenek bungkuk bermata perak itu sebatang kara. Ia memiliki lima orang anak, tapi harus menghabiskan masa tuanya dalam kesepian dan kesulitan.
***
Malam takbiran dua tahun yang lalu. Keadaan ekonomi kami belum juga membaik. Sekalipun mudik tidak dilarang, untuk ke sekian kalinya, kami tak bisa mudik. Terbayang saat kecil di kampung dulu. Dua meja panjang dari kayu mahoni, dan meja kecil sofa selalu penuh dengan toples berisi kue lebaran.Â
Kami cukup merasa bahagia sekalipun hanya memiliki tiga toples kue lebaran. Tiba-tiba teringat akan nasib nenek sebatang kara yang tinggal di sebelah kiri mushola itu. Bergegas, kami mengunjunginya dengan membawa satu toples kue lebaran. Percayalah, berbagi akan membuat kebahagiaanmu naik berlipat ganda.
Sampai di rumah tua bertingkat dua yang mulai lapuk itu kami disambut dengan pelukan penuh haru Nenek. Mata peraknya semakin mengabut dan meluruhkan bening di pipinya yang keriput. Kami duduk melingkar di sebuah meja makan tua. Aroma apek rumah yang hampir tak pernah terkena sinar matahari itu menguar dari seluruh sudut.Â
Sekalipun tinggal sendiri, kuakui rumah ini cukup bersih. Nenek mengaku sebagai orang yang cukup perfeksionis dan tak betah jika ada yang berantakan. Tentu sangat berbeda denganku. Mungkin ini yang menyebabkan anak terakhirnya memutuskan untuk pindah mengikuti kemauan suaminya dan membiarkan ibunya mati pelan-pelan terbunuh sepi.
"Anak-anak marah karena Nenek menolak menjual rumah ini. Mereka itu maunya rumah ini dijual, terus uangnya dibagi lima. Nenek disuruh tinggal bergiliran di rumah mereka. Ya Nenek nggak mau. Biar saja Nenek sendirian, sebatang kara, asal di rumah sendiri. Toh, Nenek dapat ganti cucu-cucu yang baik seperti kalian." Ia tertegun. Dada tipisnya kembang kempis dan suaranya gemetar.Â
"Itu ada karpet sama bed cover di lantai. Anak Nenek ada yang habis nengok ya? Udah pulang?" Tak sengaja mataku menatap alas tidur yang terlihat belum lama ditiduri di samping ranjang Nenek.
Nenek terlihat masygul. Matanya kembali berkabut. Dia pun menceritakan kalau anak laki-lakinya yang nomor empat menginap seminggu dan baru tadi pagi pulang ke rumahnya.Â
"Dia minta ini ke Nenek, padahal ini buat makan sehari-hari," jelasnya sambil mengelus leher. "Sekarang tinggal ini satu-satunya yang bisa dijual buat makan." Nenek menunjukkan sebuah cincin kuno yang sudah kehitaman di jarinya yang berbonggol-bonggol. Kalungnya yang berharga diminta sang anak yang sedang menganggur.
"Waktu kena PHK, anakku dapat pesangon seratus juta. Itu Nenek cuma dengar kabarnya saja. Setelah habis, malah ke sini."
Dadaku terasa menciut, sesak. Mataku pun mulai mengabur tertutup bening yang ingin melesak keluar.Â
"Tenang, Nek. Besok kalau aku dapet uang lebaran, aku bagi Nenek," janji kedua anak kembarku. Nenek pun mengusap kepala dua lelaki kecil itu dengan tangan gemetarnya yang penuh tonjolan pembuluh vena.
***
Beberapa hari yang lalu aku ke rumahnya. Nenek telah berpulang ramadhan tahun lalu. Rumahnya masih sepi. Ada beberapa pasang sandal jepit di depan rumah dan jemuran yang berkibar di teras atas. Seorang anaknya kembali dan tinggal di rumah itu setelah ibunya tiada.
Jika kau membaca kisahku di malam Hari Raya Idul Fitri ini, tolong doakan agar aku tak merasa kesepian dan sebatang kara di usia tua nanti. Akan aku doakan pula agar kisah nenek bermata perak ini tak terjadi padamu.
Â
(uss)
Jaksel, dini hari menjelang Idul Fitri 2021
#kisahnyata
Sumber gambar: 1
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H