Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Surat Wasiat Eyang Trenggono

16 Mei 2021   02:38 Diperbarui: 16 Mei 2021   04:58 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Surat Wasiat /https://www.naviri.org/

Nawang menjejalkan sebuah amplop dengan kop surat seorang pengacara terkenal ke tanganku. Bagai kerbau dicocok hidung, aku pun segera membukanya dan mengeluarkan selembar kertas ukuran A4 berwarna putih.

"Ko ... kosong? Ini betulan surat wasiat eyangmu?" Aku terlonjak dari kursi kayu jati kuno dengan ukiran Jepara yang rumit. Bola mataku nyaris juling karena terlalu lama melotot memandang selembar kertas putih polos tanpa satu huruf pun di sana.

"Itulah yang membuatku kesal. Eyang pasti ingin mempermainkan aku," gerutu gadis berkuncir kuda dengan celana jins yang robek di bagian lutut, menghentakkan kakinya yang bersandal jepit dengan kesal.

"Bagaimana mungkin seorang Raden Mas Trenggono yang memiliki harta miliaran rupiah tak mewariskan apa-apa untukmu, cucu kesayangannya?"

Kami duduk dicekam kebingungan yang menggerogoti otak masing-masing. Pasti ada yang disembunyikan dalam surat wasiat kosong itu. Hmmm ... sepertinya orang tua itu ingin meledekku, sahabat cucu satu-satunya.

"Bukankah ada jenis tinta tertentu yang tak terlihat setelah kering? Kalau nggak salah, kertasnya harus dipanaskan dulu biar terbaca," bisikku berusaha memecah kesunyian.

Mata Nawang membulat. Secepat kilat ia menarik tanganku ke belakang, ke ruang cuci gosok di sebelah kamar pembantu.

"Ngapain kamu ngajak aku ke sini? Emang aku cowok apaan?"

Nawang meninju bahuku pelan. Ia segera menyambungkan kabel setrika ke steker dan meletakkan lembaran surat wasiat itu di bawah kain alas setrika. Beberapa saat kemudian, gadis yang kadang-kadang terlihat cantik itu menggerakkan setrika ke arah depan. Gerakannya mengingatkanku saat kami bermain mobil-mobilan di teras saat kecil dulu.

"Selesai!" jeritnya girang. Setelah mengembalikan setrika ke tempat semula, ia melambaikan surat wasiat itu ke depan hidungku. Ajaib, tiba-tiba di sana telah muncul tulisan tangan bersambung dengan tinta hitam yang rapi sekali.

"What?! Puisi?" Nawang meraung histeris setelah membaca isi surat wasiat Eyang Trenggono.

"Puisi?" Aku pun menyambar kertas di tangannya dan kaget bukan kepalang. Apa-apaan ini? Ini kan puisi legendaris karya almarhum Eyang Sapardi Djoko Damono. Dengan sejuta tanda tanya yang semakin membuatku linglung, aku pun mengeja kata demi kata dalam puisi itu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(R.M. Trenggono)

 

Gila! Ini benar-benar gila. Lelucon apa lagi ini? Apa yang membuat seorang konglomerat seiseng ini hingga surat wasiatnya sebait puisi?

Aku memeluk bahu Nawang untuk menghiburnya. Gadis itu betul-betul kalut dan seperti sudah kehilangan kewarasan. Diremasnya surat wasiat itu dan dilemparkan ke atas tumpukan lipatan baju yang belum disetrika.

"Tenang, Nawang. Eyangmu tak mungkin menulis puisi ini tanpa sebab. Dia tahu kamu berteman denganku, yang gini-gini cukup manis dan romantis, dan selalu bisa diandalkan. Mari kita coba pecahkan teka-teki ini bersama."

Dengan langkah gontai kami kembali ke ruang tamu. Tak lupa aku menyambar gumpalan kertas surat wasiat yang tergeletak pasrah di sudut kamar cuci setrika.

"Sepertinya ini suatu kode yang harus dipecahkan. Mungkin pin ATM atau kunci kombinasi lemari besi atau safe deposit box di bank. Hmmm ... sebentar. Sepertinya aku tahu ini apa."

Aku pun menghitung jumlah baris dalam bait puisi itu. Jumlahnya ada enam baris. Baris pertama terdiri dari lima kata, baris kedua enam kata, baris ketiga enam kata, baris keempat lima kata, baris kelima enam kata, dan baris keenam enam kata.

"Enam lima enam enam lima enam enam!" teriakku terlonjak girang.

"Tapi, pin atm atau kode safe deposit box harus enam angka, bukannya tujuh angka," keluh Nawang lunglai.

"Kita hilangkan jumlah bait. Jadi hanya 566566!" Aku memandang wajah pewaris tunggal Eyang Trenggono itu, mencoba meyakinkan. Tak ada salahnya mencoba bukan?

Dengan langkah gembira dan penuh harapan, kami pun masuk ke ruang kerja kakek Nawang. Di samping kanan meja kerja oval dari kayu jati berwarna hitam, berdiri gagah meja kecil. Di atas meja itu bertengger sebuah kotak besi mengkilap berwarna silver. Bentuknya mengingatkanku pada kulkas mini di rumah.

"Bagaimana cara membukanya?" Aku berbisik antusias di belakang tubuh Nawang yang sedang berusaha menekan-nekan kotak besi di depannya.

"Bismillahirrahmanirrahiim. Lima enam enam lima enam enam!" Nawang bergumam sambil memasukkan pin brankas. Tiba-tiba terdengar bunyi beep dan kotak penyimpanan harta karun keluarga Trenggono itu pun terbuka.

Mata dan mulutku membulat. Nawang menari-nari gembira dan memelukku erat. Di dalam sana, dalam dekapan gua bernama brankas yang hangat tersimpan rapi harta karun tak ternilai harganya. Total semua ada lima amplop tebal berwarna cokelat, sepuluh buah sertifikat, emas batangan, dan sebuah buku tabungan beserta ATM. Semua atas nama R.R. Nawangwulan Kinasih.

Nawang mengambil sebuah benda yang menurutnya paling berharga. Sebuah agenda bersampul kulit warna cokelat tua. Di halaman pertama tertempel foto Nawang kecil bersama ayah, ibu, dan kakek neneknya semasa masih hidup. Ia mendekapnya erat-erat dengan bercucuran air mata.

 

 

(Tamat)

 

Jakarta, 09/03/2021

Sumber gambar: 1

Perna dimuat di Risalah Misteri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun