"What?! Puisi?" Nawang meraung histeris setelah membaca isi surat wasiat Eyang Trenggono.
"Puisi?" Aku pun menyambar kertas di tangannya dan kaget bukan kepalang. Apa-apaan ini? Ini kan puisi legendaris karya almarhum Eyang Sapardi Djoko Damono. Dengan sejuta tanda tanya yang semakin membuatku linglung, aku pun mengeja kata demi kata dalam puisi itu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(R.M. Trenggono)
Â
Gila! Ini benar-benar gila. Lelucon apa lagi ini? Apa yang membuat seorang konglomerat seiseng ini hingga surat wasiatnya sebait puisi?
Aku memeluk bahu Nawang untuk menghiburnya. Gadis itu betul-betul kalut dan seperti sudah kehilangan kewarasan. Diremasnya surat wasiat itu dan dilemparkan ke atas tumpukan lipatan baju yang belum disetrika.
"Tenang, Nawang. Eyangmu tak mungkin menulis puisi ini tanpa sebab. Dia tahu kamu berteman denganku, yang gini-gini cukup manis dan romantis, dan selalu bisa diandalkan. Mari kita coba pecahkan teka-teki ini bersama."
Dengan langkah gontai kami kembali ke ruang tamu. Tak lupa aku menyambar gumpalan kertas surat wasiat yang tergeletak pasrah di sudut kamar cuci setrika.
"Sepertinya ini suatu kode yang harus dipecahkan. Mungkin pin ATM atau kunci kombinasi lemari besi atau safe deposit box di bank. Hmmm ... sebentar. Sepertinya aku tahu ini apa."