Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Ayam Tumbal Pesugihan

12 Oktober 2020   09:44 Diperbarui: 12 Oktober 2020   09:51 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hidup gini terus ya, To. Sikil nggo endas, endas nggo sikil kerja keras tiap hari nggak ada perubahan. Gimana kalau kita pergi ke tempat Mbah Kuncen nyari pesugihan?" ajak Surip pada temannya, Parto.

"Hooh, lah. Wis bosen urip mlarat terus. Nyong milu wae!" Parto pun bersedia mengikuti ajakan sahabatnya sejak kecil yang mempunyai pekerjaan sebagai petani. 

Sebenarnya Parto tidaklah miskin-miskin amat. Ia menikahi Warsih, cucu dari Mbah Glondong Kamawi, tokoh berpengaruh di desanya hingga tentu memiliki warisan tanah yang cukup luas. 

Akan tetapi, musim paceklik membuat tanahnya tak cukup menghasilkan padi. Bahkan singkong yang bisa dipanen hanyalah singkong slendro, sejenis singkong beracun yang harus melalui pengolahan panjang agar bisa dijadikan tiwul untuk makan keluarganya.

Keesokan harinya dua petani itu pergi ke arah selatan, ke tempat Mbah Kuncen, juru kunci tempat keramat itu berada. Sesampainya di sana, Surip dan Parto pun mengutarakan keinginannya untuk memperoleh kekayaan.

"Sampean kabeh wis niat temenan njaluk pesugihan?" Juru kunci tua itu menanyakan kembali maksud dua laki-laki itu jauh-jauh datang ke rumahnya.

"Sampun, Mbah," jawab Parto dan Surip serempak. Tekad mereka sudah bulat untuk mengakhiri kemiskinan yang membelenggu kehidupan mereka.

"Ya wis nek temenan siki cekelen pitik sing nang kurungan kae, terus sembelih. Mengko padha nggo dahar!" Mbah Kuncen memerintahkan Parto dan Surip untuk masing-masing menangkap dan memotong seekor anak ayam yang sedang makan gabah bersama induknya di dalam kurungan besar. 

Dengan penuh semangat, Parto mendahului sahabatnya menangkap anak ayam. Ia meminta Surip untuk memegangi bagian kaki dan sayapnya, sedang tangan kirinya memegang kepala anak ayam malang itu. Ia memegang pisau dapur berkilap yang diberikan oleh Mbah Kuncen.

tangkapan layar dari tayangan YouTube
tangkapan layar dari tayangan YouTube
"Bismillahi Allohu Akbar!" Parto merapalkan do'a menyembelih ayam seperti yang biasa dia lakukan jika memotong ayam di rumahnya. Saat hendak mengayunkan pisau ke leher anak ayam itu, tiba-tiba bayangan wajah Darun, anak pertamanya berkelebat muncul di bilah pisau yang berkilau.

"Astaghfirulahaladziim!"

Parto kaget dan melempatkan pisau dan melepaskan anak ayam dari tangannya. Surip pun tak kalah kaget dan ikut melepaskan pegangannya.

Sontak Parto berlari terbirit-birit keluar dari rumah Mbah Kuncen. Tanpa menoleh ke belakang lagi, ia berlari kencang ke arah mereka datang tadi.

"Ana apa, To?" Surip kaget dan ikut berlari mengejar Parto. 

"Darun, Rip! Darun!"

"Darun kenangapa?" Surip berteriak kebingunan karena Parto menyebut-nyebut nama anak pertamanya yang masih kecil.

"Ayo bali wae!" Teriak Parto mempercepat langkah untuk pulang.

Akhirnya dua lelaki itu pun bergegas pulang. Waktu itu belum ada angkutan sehingga memerlukan waktu dua hari agar dua laki-laki itu bisa kembali ke desanya. Sesampainya di rumah, Parto disambut tangisan keluarganya. Keluarga besar dan seluruh penduduk kampungnya berkumpul di rumah.

Dilihatnya sang istri dan ibu-ibu di kampungnya sedang menangisi Darun yang tubuhnya berkelojotan di amben beralaskan kasur kapuk di kamar. Para tetua yang lain sibuk membacakan Surat Yasin. Ini adalah hari ketiga mereka mengaji untuk Darun yang tiba-tiba sakit keras dan nyaris meregang nyawa.

"Darun!" Pekikan Parto mengagetkan kerumunan keluarga besarnya, mereka menoleh ke asal suara. Laki-laki itu langsung menghambur ke arah tubuh kecil Darun, memeluk dan mengusap kepalanya.

"Kiye mesti kelakuane deke, To!" Suara serak berkopiah hitam di kursi dekat Warsih duduk yang sedari tadi khusyuk membaca Surat Yasin menyentak keheningan. Mertua Parto yakin kalau sakitnya Darun ada hubungannya dengan kepergian mendadak Parto dan Surip yang menurut desas-desus sedang mencari pesugihan ke daerah kidul.

"Enggih, Pak, kulo engkang lepat," bisik Parto lirih. Ia membenamkan wajahnya semakin dalam ke kepala Darun. Gurat penyesalan dan ketakutan menghiasi wajah lelahnya. Tak terasa bulir bening mengalir bercampur dengan keringat yang membasahi rambut anak berkulit legam di pelukannya.

"Oalah, To, To! Wong ka gublug temen. Nek pengen sogeh ke kerja! Untung wae Darun ketulung!" Pria tua itu menggeram menahan amarahnya pada sang menantu yang telah bertindak bodoh hingga nyaris menjadikan cucu kesayangannya menjadi tumbal pesugihan.

(Tamat)

Note:

Cerita ini ditulis berdasarkan kisah nyata sepupu penulis yang nyaris menjadi tumbal pesugihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun