Mohon tunggu...
Umi Rohimatun
Umi Rohimatun Mohon Tunggu... -

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Mentri Agama Munawir Sjadzali

7 Januari 2014   19:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:03 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munawir Sjadzali lahir di desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, pada 7 November 1925. Ia adalah anak tertua (delapan bersaudara) daripasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali (putra Tohari) dan Tas‘iyah (putri Badruddin). Dari segi ekonomi, memang keluarga Abu Aswad jauh dari cukup, tetapi dari segi agama keluarga ini sangat taat beragama.

Dua fenomena ini, kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan, menghadapkan Munawir pada satu pilihan pendidikan: madrasah. Selain karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan Islam ini relatif murah, tetapi juga karena lembaga pendidikan ini mengutamakan ilmu-ilmu tradisional Islam. Karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah di kampungnya, Munawir melanjutkan pendidikan ke Mambaul Ulum, Solo.

Dengan segala penderitaan dan perjuangan, pada tahun 1943 tepatnya di usia 17 tahun, Munawir berhasil menyelesaikan sekolahnya di mambaul Ulum dengan mengantongi ijazah dari madrasah terkenal ini. Melihat pendidikan yang ditempuh, Munawir tidak hanya dapat dikategorikan sebagai santri secara formal, tetapi juga substansial. Sebagai santri, ciri yang paling menonjol dari Munawir adalah kemampuannya untuk memahami kitab-kitab klasik Islam. Pada gilirannya, hal ini membawa implikasi pada luasnya wawasan keagamaan, karir intelektual dan pemerintahan, serta kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan jabatannya sebagai Menteri Agama.

. Kegiatan Munawir yang tadinya hanya mengajar, berkembang ke arah kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Munawir hampir selalu dilibatkan dalam kegiatan yang diadakan oleh badan-badan resmi maupun swasta. Bahkan di Gunungpati inilah untuk pertama kalinya Munawir bertemu dengan Bung Karno yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan berkunjung ke Gunungpati, sebagai penghargaan atas suksesnya kecamatan ini dalam mengumpulkan dukungan untuk Putera.

Munawir adalah tipe seorang aktifis yang banyak berkiprah dalam beberapa organisasi, di antaranya: sebagai Ketua Angkatan Muda Gunungpati,Ketua Markas Pimpinan Pertempuran Hizbullah-Sabilillah (MPHS) dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Semarang. Kehidupan Munawir selama setahun di Semarang sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya.

Tokoh ini terkenal dengan pemikirannya tentang reaktualisasi ajaran Islam.Pokok persoalan yang menjadi sorotannya adalah hukum kewarisan Islam dan masalah perbankan.Realitas masyarakat Islam di Indonesia bersifat mendua dalam kedua hal tersebut. Di satu sisi umat Islam memandang bahwa bunga bank adalah riba, namun di sisi lain banyak dari mereka yang hidup dari bunga deposito. Dalam masalah waris, umat Islam masih menganggap bahwa hukum waris Islam masih relevan, tetapi pada saat yang sama banyak yang meminta fatwa baru yang dianggap lebih adil. Atau mereka menjalani upaya pre-emptive, yakni membagi harta peninggalan dengan model hibah sebelum pewaris meninggal.

Permasalahan di atas menjadi latar belakang munculnya pemikiran tentang reaktualisasi.Ide ini pertama kali ditawarkan Munawir pada tahun 1985.Reaktualisasi berarti upaya melakukan reinterpretasi terhadap doktrin Islam yang dalam rentang waktu yang panjang telah memiliki validitas tersendiri.Reaktualisasi dilakukan untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Dengan kata lain, reaktualisasi adalah upaya penafsiran ulang atas ajaran agama dengan tetap tidak melangkahi ketentuan nash yang ada.

Esensi reaktualisasi adalah kontekstualisasi ajaran Islam itu sendiri.Model pemahaman tekstual terhadap sumber Islam harus segera diakhiri, karena mejadikan hukum Islam menjadi rigid dan tidak aplikatif. Perlu dilempangkan jalan bagi pendekatan dan metode baru, yang dapat digunakan dalam proses kontekstualisasi. Islam adalah agama yang lentur, menampung kebhinnekaan, dan sesuai dengan fitrah manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun