Mohon tunggu...
Umi Nurvitasari Al- Rimbany
Umi Nurvitasari Al- Rimbany Mohon Tunggu... -

Orang desa merindukan surga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Subuh Syahdu

24 September 2013   22:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:26 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jarum jam menunjuk angka sepuluh malam. Jalanan mulai sepi. Sudah tak ku dengar suara kendaraan yang lewat. Sunyi, hanya ada lantunan surat yaasiin oleh Syaikh Sa’ad al Ghamidi yang menemaniku. Kedua buah hatiku telah terlelap tidur. Namun, suamiku belum juga pulang. Aku ragu ia sibuk kerja malam, entah kenapa perasaan tak enak menggelayut dalam benakku. Setiap hari sering sekali akhir- akhir ini pulang larut malam. Dan….

“tok,,,tok,,,tok,,,” terdengar ketukan pintu oleh mas Ahmad.

“iya mas,,,,”

Ia langsung masuk kamar mandi dan tak lama kemudian terlihat lelah dan membaringkan tubuhnya disampingku. Tak lupa ku ingatkan dia untuk makan malam dan meminum the hangat yang telah ku siapkan.

“Mas, jangan lupa makan malamnya dan the hangatnya monggo di minum dulu…”

Terdiam sebentar kupandang wajah lelahnya.

“Maaf mas, tadi aku sudah makan malam dulu sama anak- anak karena mereka ingin aku menemaninya makan malam.”

“Iya dek, ndak apa, mas sudah lelah dan capek, mauu istirahat dulu aja.”

Aku terdiam tak berani mengganggunya, perlahan kulihat kedua matanya kerkatup.

***

Pagi itu seperti biasa aku bangun malam dan langsung menyiapkan sarapan. Tak ada yang aneh dari suamiku. Hanya saja akhir- akhir ini ia memang sering pulang larut malam. Katanya ada tugas kerja, tapi entahlah. Hingga kini aku belum menanyakannya.

“masak apa dek?”

Aku tertegun dengan pertanyaannya yang mengagetkan. Tiba- tiba ia datang dibelakangku.

“Mas mau dimasakin apa? Ini aku masak pecel, ikan, dan sayur soup mas”. Jawabku.

“hehehe,,,, mas itu terserah adek mau masak apa…”

Aku hanya bisa menganggukan kepala. Kuperhatikan wajah suamiku. Lelah masih terlihat mengelilingi matanya yang sayu.

“Mas, kalau mas capek istirahat dulu, nanti kalau adzan subuh aku bangunkan”.

“Iya dek makasih…”.

“Oh iya, itu kopinya mas, monggo diminum dulu…”

Ia meminumnya dan kembali duduk didekat meja makan sambil memutar butiran tasbih dijemarinya.

Sekali lagi tak ada yang aneh darinya. Ia masih tetap seperti biasanya. Senyumnya, tingkahnya, masih tetap dan tidak berubah sedikitpun. Tapi mengapa ada orang yang mengatakan hal itu padaku? Apa yang sebenarnya terjadi? Ah aku jadi ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ku lirik mas Ahmad. Ia masih tetap duduk ditempat semula. Aku mencoba mulai bicara,

“mas, maaf….”

“kenapa dek?”

“aku boleh tanya sesuatu?”

“hehe ya tentu boleh tho dek, emang mau tanya apa?”

“Akhir- akhir ini mas sering pulang malam. Sedikit sekali waktunya untuk bercanda dengan keluarga.”

“Hemmm…. Iya dek, mas ada jam kerja tambahan dikantor”.

“Beneran mas?”

“hehehe……… emang kenapa dek? Takut ya kalau ditinggal mas, udahlah dek ndak usah kawatir.” Jawabnya.

“kalau emang ini lebih baik tidak mas ambil juga gak papa dek, memang ini salah mas, mas kemarin tidak izin dulu ke adek.”

“Hemmm… aku hanya khawatir saja mas”.

“Khawatir kenapa dek? Khan mas tidak sendirian di kantor, masih ada temen- temen mas yang lain yang lembur juga”.

“Aku khawatir kalau ams sudah tak sayang lagi denganku dan memilih menghabiskn wktu dikantor berssama teman- teman mas yang masih gadis- gadis dan muda- muda itu…”

“Astaghfirullah… ndak dek, mas masih sayang kog sama keluarga kita.”

“Beneran mas?”

“Haha…. Pasti ini cemburu ya?”

Aku terdiam, aku tersipu malu. Tega- teganya aku berbuat lancang berpikiran negatif dengan orang yang sudah menjadi imamku selama lima belas tahun ini.

“hem… maaf mas…..”

“Ndak papa dek, mas insya Allah akan selalu menjaga cinta kita hingga kita bersama di surga Allah kelak.”

“Aamiin… semoga mas,,,” doaku mengiringinya.

“Mas, maafkan aku yang sudah…..” Mas Ahmad memutus kata- kataku.

“Iya, gak apa kog. Hehehe…… Ibunda aisyah aja juga sering cemburu pada Rosulullah. Hem… ya pastilah kalau adek cemburu sama mas, khan cemburu salah satu bukti kuatnya cinta, haha….” Aku pun terdiam dan ia mencubitku.

“Au….hem….hem….” senyum kami bertemu dalam panggilan subuh yang merdu.

Adzan subuh berkumandang syahdu. Akupun bergegas menyelesaikan masakanku. Dan ku ambil air wudlu. Sholat berjama’ah subuh dengan imamku. Tenangnya hatiku.

“Ya rabby….. terima kasih ya Allah… Kau telah memberikan seorang imam yang selalu terpaut cinta denganMu. Seorang penghilang rasa resah. Seorang pahlawan dalam hidupku. Lembut dalam berkata, sopan dalam bertindak, selalu berucap jujur, menenangkan hati, menyenangkan mata inii memandang, dan pengharum nama keluargaku. Ya Rabb… maafkanlahh hamba yang telah lancang berpikiran negatif dengannya, semoga Engkau menjadikannya imamku disurga kelak, aamiin…..”

Surabaya, 24 September 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun