Di teras rumah ini, senja di ufuk barat mulai terlihat semburat memerah sama halnya wajah Bapak yang berbeda dari biasanya. Mimik muka Bapak kusut seperti baju yang tak sempat disetrika. Ada kemungkinan jika Bapak tahu kedekatanku dengan Edi yang selama ini kututupi darinya. Aku berangsur-angsur mendekati Bapak sambil melawan ketakutanku, perlahan aku duduk di sampingnya.
"Bapak kenapa? Ada masalah ya pak?" tanyaku basa-basi,
"Harusnya kamu paham ngger kalo Edi itu sepupumu, dia bukan pasangan yang baik buatmu. Eling ngger ming telu, ming telu ngger." Tegasnya sambil menatapku tajam.
 "Iya pak," jawabku tenang,
Rasanya tak sanggup bila aku harus menjauhi Edi. Dia sudah memberikan warna dalam hidupku apalagi, hanya dia yang bisa membuatku lebih tenang setelah kepergian ibuku beberapa bulan yang lalu. Padahal rasa cintaku pada Edi sedang tumbuh subur, apa memang harus kandas di tengah jalan hanya karena mitos yang Bapak katakan. Itu kan hanya mitos toh, tak sepenuhnya benar kalau memang benar harusnya hidup Pak Lik berantakan sebab melawan mitos. Â
***
Gawaiku berdering pertanda satu panggilan masuk. Di layar tertulis satu nama yang kudambakan, tak lain Edi. Suara Edi seperti alunan musik langgam milik Bapak.
"Halo, sayang apa kabar cantik? Hari ini ketemuan yuk di kedai kopi sebelah sebentar aja kok," ucapnya sambil merayu,
"Hayuk, aku tunggu jam satu ya sayang," balasku singkat sembari menutup telpon dengan cepat. Tanpa kusadari di belakangku ada bapak yang sedari tadi diam memperhatikan percakapan kami lewat telepon. Mukanya berubah merah, dengan cepat tanganku ditariknya kuat-kuat. "Sakit pak, ampun," rintihku,
"Kamu kalo dibilangin selalu saja ngeyel mulu. Bapak malu punya anak kayak kamu, pokoknya kamu bapak hukum,"
"Jangan pak, ampun pak," kataku memelas. Tanpa aba-aba tangan bapak yang kekar itu langsung menyeretku ke kamar. Tangan dan kakiku diikatkan di sebuah kursi kayu yang tak jauh dari bangku seperti tahanan penculikan di drama televisi. Aku menangis sejadi-jadinya bahkan, aku sempat mengutuk perbuatan bapak padaku. Semenjak ibuku meninggal, perilaku Bapak berubah bahkan, Bapak suka marah-marah dan selalu kasar padaku. Ditambah lagi Bapak juga sering keluar malam dan pulang pagi tanpa alasan yang jelas. Kali ini aku hanya bisa pasrah pada keadaan, duh Gusti.
Hari itu gagal sudah pertemuanku dengan Edi. Aku juga tidak tahu bagaimana kabarnya setelah gawaiku disita Bapak. Seharian aku dikurung dalam kamar. Untung ada Mbok Yem pembantu keluargaku yang setia dan menyayangiku bahkan rela dimarahi Bapak hanya karena dia membantuku melepaskan ikatan. HP Mbok Yem memang jadul tapi cukuplah buat kirim SMS dengan mas Edi. Aku yakin Edi pasti kecewa dengan sikap Bapak akhir-akhir ini terlebih lagi, Bapak melarangku menemuinya bahkan, menyuruhku untuk menjauhinya. Keadaan semakin hebat saja menjepit, aku sungguh muak dengan ini semua. Apakah ini memang jalan ujian bagi cinta kita mas?
***
Aku sudah berjanji pada Edi untuk menemuinya di stasiun sore ini. Kami berkomitmen untuk saling menguatkan dan terus memperjuangkan cinta sampai janur kuning melengkung. Hari ini aku mengenakan jubah krem dipadu dengan kerudung cokelat dengan kacamata hitam, tak lupa pula menggunakan masker kain hitam. Ini semua kulakukan agar penyamaranku tak dikenali Bapak. Segala sesuatunya sudah dipersiapkan Mbok Yem jadi aku tinggal menunggu Edi saja. Stasiun Kota Baru Malang adalah harapan terakhirku untuk memulai perjalanan menuju pulau baru dan membuka lembaran baru di sana. Sudah kurencanakan sebelumnya, jika aku akan menetap di rumah Pak Lik Joko, ayahnya Edi. Beliau adalah satu-satunya orang merestui hubunganku dengan Edi.
Tiba-tiba saja ada yang menarik paksa kerudungku dari belakang, sontak aku kaget. Ternyata Bapak sedari tadi membuntutiku dari belakang. Pasti beliau yang mendesak Mbok Yem, pembantu ART di rumahku. Aku tak bisa melawan, tangan kekar Bapak sangat kuat menyeretku ke dalam bis langganannya. Kulihat barang bawaan Bapak yang banyak seperti mau piknik membuatku curiga. Aku membaca stiker yang ditempel pada kaca depan bis "Demak-Kudus-Rembang" sontak membuatku kaget. Pasti Bapak mau membawaku pindah ke Demak.
"Lepasin pak tolong pak," ucapku lantang sambil berusaha memberontak.
"Mas Ediiiiii tolonggg," teriakanku menggema membuat seluruh penumpang kebingunggan.
"Bapak, tolong lepasin pak sakit. Biarin aku bahagia sama Edi pak,"
"Bapak pasti mau bawa aku ke Demak kan? Bapak kenapa jahat banget sih pak. Biarkan anakmu ini hidup bahagia pak."
Sorot mata tajam Bapak semakin membuatku ngeri bahkan, aku tak bisa berbuat apa pun saat ini. Air mataku berderai membasahi kerudung cokelat kesayanganku. Mungkin perpisahan menjadi jalan terbaik bagi kita sekarang ini mas. Maafkan aku yang belum bisa sepenuhnya berjuang untuk cinta kita mas.
***
Dua tahun kemudian, tersebar poster DPO (Daftar Orang Hilang) yang ditempel pada pohon depan rumahku. Selembar foto itu seperti kukenali sementara di bawahnya terlulis lengkap Edi Hermanto.
"Ediiiiii," aku menjerit sejadi-jadinya. Â
Oleh: Riami dan Umi Nur Baity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H