Suatu bangsa akan menjadi bangsa yang besar karena adanya peranan pemuda yang tangguh di dalamnya. Ingat kata Bung Karno "Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia." Ini menunjukkan betapa pentingnya peranan para generus bangsa yang kelak meneruskan cita-cita dan perjuangan bangsa.
Akan tetapi, masih adakah semangat yang membara dari generus bangsa yang kini tengah dilanda wabah pandemi covid-19 seperti saat ini ? Apakah mereka hanya bisa duduk diam di rumah tanpa melakukan perubahan ?
Tak dapat dipungkiri lagi wabah pandemi covid-19 yang mengubah seluruh tatanan kehidupan manusia, membuat kita memutar otak mencari solusi terbaik. Kita dituntut untuk melakukan aktivitas seperti halnya bekerja, belajar, dan lain-lain secara daring saja.
Memang terkesan mudah dan simple tapi perlu kita tahu tidak semua yang ada di dunia bisa berjalan mulus. Mayoritas pelajar masih ada yang binggung dengan sistem aplikasi yang dipakai bahkan, sampai ada yang error. Nah, dari sini yang perlu kita garis bawahi yaitu pengoperasian sistem aplikasi yang terkesan rumit bisa menyebabkan pelajar malas mengerjakan kewajibannya.
Hal ini memang sudah ditangani pemerintah dengan berbagai cara mulai dari pemerataan jaringan internet di seluruh Indonesia hingga memberikan bantuan kuota gratis. Tetapi faktanya masih ada juga yang mengalami kendala di beberapa daerah.
Dilansir dari Kompas.com (20/10/2020) diduga lantaran beban tugas daring yang menumpuk dari sekolahnya, seorang siswi SMA di Gowa Sulsel Berinisial MI 16 th nekat bunuh diri dengan meminum racun rumput. Menurut Kasatreskrim Polres Gowa Akp Jufri Natsir korban sering mengeluh akibat sulitnya akses intenet di kampung yang menyebabkan tugas-tugasnya daring menumpuk.
Mirisnya aksi bunuh diri ini direkam korban sebelum detik-detik melakukan aksinya. Dari kasus ini pemerintah harus sesegera mungkin melakukan tindakan serius mengenai dunia pendidikan di negeri ini. Kita tidak akan tahu bagaimana nasib masa depan para pelajar jika proses belajar mengajar tidak berjalan sempurna.
Seringkali para pelajar merasa terbebani karena adanya ujian daring yang tiba-tiba saja diumumkan tanpa aba-aba. Tidak menutup kemungkinan para pelajar merasa bosan dan malas jika harus mengerjakan ujian.
Mayoritas di antara mereka memilih melakukan kecurangan dengan browsing, buka buku, mencari referensi bahkan menggunakan booth. Mereka lebih mengedepankan nilai yang belum tentu bisa menjadi penjamin kesuksesan.
Coba bayangkan jika generus Indonesia hanya bermodal Google saat mengerjakan ujian. Kira-kira apakah justru bisa menjerumuskan diri sendiri? Tentu iya sebab, hal ini bisa menyebabkan ketergantungan pelajar terhadap sesuatu. Mereka memilih hal yang instan saja tanpa mau tahu bagaimana cara menyelesaikannya secara mandiri. Parahnya hal sepele ini bisa jadi budaya yang melegenda dari generasi ke generasi.
Para guru memang tidak bisa mengawasi secara langsung seperti biasanya akan tetapi bukankah kejujuran itu dimulai dari diri sendiri? Nah, masalahnya nilai-nilai moral seperti kejujuran, rasa peduli, dan lain-lain seolah luntur ditelan zaman.
Apalagi dengan adanya pengaruh kebiasaan Barat dan Timur yang gencar mendominasi tatanan kehidupan di suatu negara. Tentu akan jadi tantangan tersendiri bukan?
Jika perihal ulangan saja bisa dicurangi maka, tidak menutup kemungkinan nanti saat menjadi petinggi pun melakukan kecurangan misalnya korupsi. Sebenarnya cikal bakal korupsi ini berawal dari kejujuran yang dipengang dalam tekad yang tumbuh sejak dini.
Seorang yang jujur pasti hidupnya lebih terarah dan mujur juga. Jadi jangan jadikan jujur sebagai slogan di jalanan tapi slogan prinsip diri kita sendiri.
Mari lakukan kejujuran di setiap keadaan. Jujur itu hebat.
Salam satu pena
Gembul Can
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI