Mohon tunggu...
Umi Nur Arifah
Umi Nur Arifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kasus Prita Mulyasari Berdasarkan Filsafat Hukum Positivism

27 September 2024   03:01 Diperbarui: 27 September 2024   03:11 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kronologi Kasus

Kasus Prita Mulyasari menjadi sorotan publik ketika dia menulis email berisi keluhan terhadap layanan Rumah Sakit Omni Internasional. Berikut adalah urutan kronologi kasus ini.

1. Keluhan Email :

Pada Agustus 2008, Prita Mulyasari, pasien RS. Omni Internasional, menulis email kepada teman-temannya yang mengeluhkan pelayanan yang diterimanya, terutama terkait diagnosa yang dianggap tidak tepat dan perlakuan yang tidak memuaskan. Isi email ini kemudian tersebar lebih luas di internet dan menarik perhatian publik.

2. Gugatan Perdata dan Pidana :

RS. Omni Internasional menganggap email tersebut sebagai pencemaran nama baik dan mengajukan gugatan perdata dan pidana terhadap Prita. Gugatan ini didasarkan pada Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE No. 11 Tahun 2008) dan Pasal 310 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tentang pencemaran nama baik.

3. Penahanan dan Hukuman :

Pada tahun 2009, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis Prita bersalah dan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara. Prita sempat ditahan selama beberapa waktu sebelum akhirnya dibebaskan melalui mekanisme penangguhan penahanan.

4. Putusan Akhir :

Kasus ini menarik simpati publik, yang menganggap bahwa Prita hanya menyampaikan hak konsumen untuk mengkritik layanan yang diterimanya. Setelah proses banding yang panjang, pada 2011 Mahkamah Agung memutuskan Prita tidak bersalah dalam perkara pidana, dan akhirnya ia dibebaskan dari semua tuntutan hukum.


Analisis Berdasarkan Filsafat Hukum Positivisme

Filsafat hukum positivisme menekankan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan harus dipatuhi tanpa mempertimbangkan aspek moral atau sosial. Dengan demikian, analisis kasus Prita Mulyasari dari sudut pandang positivisme hukum dapat mencakup beberapa aspek berikut:


1. Kepatuhan terhadap Hukum Positif 

Dalam kasus Prita, RS. Omni Internasional dan pihak kejaksaan menggunakan Undang-Undang yang berlaku pada saat itu, yakni UU ITE dan KUHP tentang pencemaran nama baik. Dari sudut pandang positivisme hukum, aturan hukum yang tertulis ini adalah dasar yang sah untuk menggugat Prita. Tidak peduli apakah keluhan Prita memiliki nilai moral atau tidak, selama aturan tertulis menganggap tindakannya melanggar hukum, maka hukuman yang dijatuhkan dianggap sah.

2. Pemisahan antara Hukum dan Moral

Poaitivisme hukum menegaskan pemisahan antara hukum dan moral. Dalam kasus Prita, kritik yang ia sampaikan mungkin secara moral dapat dibenarkan karena berkaitan dengan hak konsumen untuk mengeluh. Namun, dalam pandangan positivisme, tindakan hukum harus berdasarkan aturan yang tertulis dan tidak melibatkan pertimbangan moral. Jadi, walaupun masyarakat luas menganggap Prita benar secara moral, penerapan hukum terhadap dirinya adalah konsekuensi dari hukum positif yang berlaku.

3. Kepatuhan pada Otoritas yang Sah

Filsafat positivisme memandang bahwa hukum yang sah adalah yang dibuat oleh otoritas yang berwenang, dan masyarakat wajib mematuhi hukum tersebut. Pada tahap awal kasus Prita, pengadilan mengikuti aturan hukum yang berlaku, mengacu pada UU ITE dan KUHP. Keputusan pengadilan ini adalah manifestasi dari penerapan aturan hukum positif.

4. Kekakuan Hukum Positif

Kritik utama terhadap positivisme hukum dalam kasus ini adalah kekakuan penerapan hukum positif. UU ITE dirancang untuk mengatur tindak pidana dalam ruang digital, termasuk pencemaran nama baik. Namun, penerapan undang-undang ini terhadap Prita, yang hanya menyampaikan keluhan pribadi tentang layanan kesehatan, menunjukkan bagaimana hukum yang kaku dapat digunakan untuk membungkam kritik sah dari masyarakat. Meskipun akhirnya Mahkamah Agung membebaskan Prita, proses hukum yang panjang dan berat menunjukkan bahwa penerapan hukum positif dapat mengabaikan konteks sosial dan moral.


Kasus Prita Mulyasari adalah contoh klasik bagaimana hukum positif diterapkan secara ketat tanpa memperhatikan konteks sosial atau moral. Dari perspektif positivisme hukum, tindakan hukum terhadap Prita pada awalnya dianggap sah karena sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Namun, kekakuan dari penerapan hukum positif ini juga menunjukkan bahwa hukum bisa menjadi instrumen yang tidak adil ketika digunakan tanpa pertimbangan sosial dan moral. Pada akhirnya, mekanisme banding di sistem peradilan memberikan jalan keluar untuk memperbaiki ketidakadilan ini, tetapi tidak tanpa biaya sosial yang besar bagi Prita.


Analisis di atas menunjukkan bagaimana pendekatan positivisme hukum memberikan penekanan pada aturan formal, yang dalam kasus Prita diterapkan secara kaku, namun akhirnya dipatahkan di pengadilan yang lebih tinggi.


Sumber Informasi Kasus :

1. Republika Online, "Prita Bebas dari Semua Tuntutan di Mahkamah Agung", 29 September 2011. [Link Berita]

2. Detik News, "Kronologi Kasus Prita hingga Vonis Bebas", 29 September 2011. [Link Berita]

3. Hukum Online, "Prita Mulyasari Dibebaskan MA dalam Kasus Pencemaran Nama Baik", 30 September 2011. [Link Berita]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun