Mohon tunggu...
Marfa Umi
Marfa Umi Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Menikmati proses menulis sebagai jalan menemukan hal-hal menakjubkan. Senang menonton film-film.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

2 Maret, 3 Tahun yang Lalu

9 Juni 2023   14:01 Diperbarui: 28 Juni 2024   18:29 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: tanyakanrl (twitter)

Jumat, 5 Mei 2023 lalu WHO meresmikan status darurat pandemi setelah 3 tahun sejak pertama kali diumumkan pada 2020. Di Indonesia sendiri, tanggal pertama tersebut jatuh pada 2 Maret 2020. Tanggal yang sama diingat orang-orang dengan memori masing-masing pada saat itu. Adalah pengumuman libur sekolah dua minggu, pembatasan sosial berskala besar, dan sisanya kita jadi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Jalanan jauh lebih sepi, kedai favorit tak lagi buka, interaksi menjadi terbatas ke serba daring, dan juga dengan ketat menutup separuh wajah dengan masker.

Bersamaan dengan pengumuman pada bulan lalu tersebut, terdapat bahasan di media sosial Twitter jika banyak orang-orang yang stuck di tahun 2019. Cuitan tersebut sejenak membuat saya terdiam sejenak, ternyata perihal memori berhenti di tahun tertentu ini sifatnya universal. Meskipun saat ini berangsur normal dan perlahan-lahan juga menggantikan memori mengenai tiga tahun terakhi ini, saya rasa pengalaman yang masing-masing begitu personal ini tak akan hilang begitu saja.

Tubuh telah merekam hal-hal yang dialami dalam menghadapi hari-hari, bulan ke bulan yang penuh kekhawatiran dan ketidakpastian. Bahkan beberapa masih terasa efeknya hingga sampai kini, tubuh dan pikiran menjadi lebih awas serta membagi waktu menjadi lebih bijak— setidaknya itu yang saya rasakan.

Ingatan saya akan pandemi ini dimulai dari kepindahan dari asrama ke rumah, memasuki masa-masa dewasa awal di tengah pandemi yang ternyata efeknya sangat luar biasa bagi mental, usaha merampungkan tugas akhir kuliah yang ternyata tak bisa survive sampai akhir, banyak terjaga di waktu malam untuk mendapatkan penghasilan, karantina mandiri karena telah sebegitu usaha rajin pada protokol kesehatan namun akhirnya tertular karena masyarakat di desa tak begitu ketat akan hal ini, berusaha untuk tetap bisa bertemu dengan beberapa teman, serta mendatangi satu per satu berita kematian.

Bagi saya, rentetan kejadian per kejadian ini rasanya begitu aneh namun mau tak mau memang harus menghadapi hal yang nyata di depan mata ini. Sama seperti orang lainnya, saya tak menyiapkan apa-apa akan kedatangan pandemi yang begitu banyak mengubah hidup ini. Terlebih lagi tumbuh sebagai orang dewasa di saat-saat tersebut, kebingungan-kebingunan yang umum dialami pada usia-usia tersebut rasanya jadi bertambah berkali-kali lipat. 

Sampai saat ini setidaknya, saya berusaha untuk tetap bisa menginjak dan berdiri tegap di atas tanah. Bagaimana untuk bisa tetap melihat kenyataan seapa-adanya realitas, dan bukan sebagai penderitaan atau rasa sakit. Tahun-tahun sebelum 2023 ini, saya rasanya masih lari menghindar dari rasa sakit akan kehilangan baik kehilangan momen, kesempatan, atau hubungan dengan orang-orang dengan menjalani hidup dengan senang-senang saja. Sampai rentetan berita kematian di sekitar rumah tiba-tiba saja menjadi rutin, memang kebanyakan sudah berusia sepuh (selain karena ada pula yang akibat sakit maupun efek covid 19) dan seakaan memang "sudah waktunya." Jumlah berita kematian ini lebih banyak dari pada saat saya tinggal di rumah ini sebelum pindah untuk kuliah. Apakah memang waktu begitu cepat berlalu tanpa disadari?

Mau tak mau, saya mengajak pikiran untuk sama-sama lebih sadar seperti "tunggu tunggu, kita bukan lagi seorang anak kecil. Sudah di pertengahan 20an, dan sebentar lagi akan dianggap manusia dewasa sepenuhnya." Rasanya posisi diri ini terutama karena berada dalam lingkungan masyarakat, begitu aneh. Memori sebagai anak muda kuliahan rasanya masih tersangkut di tahun 2018-2019 dan jaraknya belum terlalu lama, rasanya belum selesai menghabiskan masa muda dengan sepenuhnya, rasanya waktu tak berjalan secepat ini.

Barangkali begitu cara pikiran untuk tetap terkoneksi tentang bagaimana diri ini, apa saja memori-memori menyenangkan yang terlewati, untuk tidak berkubang dalam hal-hal menyedihkan, serta harapan-harapan jika kelak akan datang hari-hari yang menyenangkan kembali pula. Tak heran juga bagi beberapa orang, masih tertahan di tahun-tahun tertentu. Terlebih lagi tahun yang isinya lebih penuh dan meriah, tahun-tahun yang lebih tak membosankan karena diisi dengan hal yang monoton saja.

Pandemi membuat manusia di belahan bumi ini memiliki kedukaan kolektif. Kehilangan orang-orang tersayang, kehilangan kesempatan, kehilangan hidup baik-baik saja sebelumnya, kehilangan waktu, dan berbagai bentuk kehilangan lainnya. Tidak ada tips untuk menjalaninya di akhir tulisan ini namun sebaik-baiknya berharap hal-hal baik akan datang. Tahun 2023 telah berjalan setengahnya, dan semoga kita sama-sama berangsur pulih, sepenuhnya, apapun bentuk perjalanan kepulihan itu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun