Saat sedang asyik menikmati makan malam dari nasi berkat dari tetangga yang menggelar hajatan, suami bercerita," Pengajian kemarin, Mbah Kyai menyampaikan kalau ciri-ciri istri yang pelit itu ada dua."
Eh, istri yang pelit? Telingaku langsung siap siaga menyimak perkataan suami selanjutnya.
"Satu, saat malam hari, masih ada nasi sisa yang ada di meja makan."
"Ish, masa' karena ada sisa nasi jadi dibilang pelit. Gimana kalau aku yang bekerja begini, baru sempat masak nasi saat sore, dipakai makan malam saja." Aku protes, hampir setiap hari memang ada sisa nasi di rumah, meskipun hanya sepiring.
"Tunggu dulu ceritaku selanjutnya," ucap Suami ketika perkataannya aku sela.
"Kemudian Mbah Yai bercerita kalau dulu, Nabi Muhammad itu tidak pernah menyimpan makanan. Jadi makanan yang ada saat itu, dimakan saat itu juga." Aku terdiam, teringat kisah dari berbagai sumber bagaimana kehidupan Nabi Muhammad SAW sewaktu beliau masih hidup. Jika tidak ada makanan di rumah beliau selalu berpuasa.Â
"Ciri kedua, ada kulkas di rumah," lanjut suami.
"Zaman sekarang mana ada rumah yang gak ada kulkasnya." Aku kembali membantah, masa iya karena ada kulkas di rumah dibilangnya istri pelit. Justru ada kulkas di rumah, istri itu dermawan, menyiapkan kebutuhan orang rumah, biar hemat dan gak perlu sering keluar rumah.Â
"Coba renungkan lagi, yang nasi sisa di rumah. Siapa tau ada saudara kita di luar sana yang nggak bisa makan?" Mendengar penuturan suami, aku terdiam. Kita tidak pernah benar-benar tau kondisi di sekeliling kita.
"Iya juga, sih. Tapi gimana caranya? Kita, kan, nggak tau siapa yang belum makan hari itu?"
"Ya, sedapat mungkin nasi sisa yang ada itu kita bungkus, kita berikan kepada orang yang sekiranya membutuhkan." Suami menjelaskan sambil tangannya mencampur nasi dengan serundeng dan sambel goreng, setelah tercampur rata lalu ia makan dengan tenang.
"Baiklah, lain kali kalau ada nasi sisa, Mas bantu aku buat naruh di kotak nasi berkah yang biasa ada di ujung jalan itu, ya." Suami mengangguk sambil terus mengunyah makanan hingga lumat. Tangannya masih sibuk membuat suapan baru, kali ini mencampur nasi dengan ayam lodho.
"Kemudian, Mbah Yai mengatakan kalau ibu-ibu saat membuat nasi untuk selamatan kamatian, misalnya tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari dan lain sebagainya, sebaiknya lauknya ayam kampung, ingkung. Jangan ayam sayur." Aku tersenyum, sebagian besar untuk acara selamatan memang menggunakan ayam sayur, selain karena lebih murah, ayam sayur juga mudah didapat. Tidak semua rumah tangga, meskipun itu di kampung, yang beternak ayam kampung sendiri. Jadi kalau membutuhkan ayam kampung, ya harus pesan terlebih dahulu.
"Ayam sayur itu lebih mudah didapat, Mas. Aku juga pernah denger dari salah satu ustadz, sebaiknya memang ayam kampung, lebih bagus lagi menyembelih kambing atau sapi." Itu kalau dananya mencukupi, kalimat terakhir itu hanya tertahan dalam di kerongkongan, tak sampai hati aku ungkapkan. Selamatan itu niatnya sedekah yang memang dianjurkan dalam Islam. Namun islam itu juga agama yang mempermudah, bukan malah mempersulit.
"Mbah Yai kemudian menegaskan kembali :'Jangan ayam sayur, ya, Bu.Ingkung' .
Aku bisa membayangkan ibu-ibu jamaah yang tersenyum mendengar penegasan itu.
"Trus ada lagi kata Mbah Yai, 'Untuk tambahan lauknya sambel goreng kentang, ya, Bu. Ojo telo. Bu ..., kentang."
"Hahaha...," tawaku akhirnya keluar saat suami menirukan ucapan Mbah Yai mengenai kentang yang diganti ubi rambat. Hal ini juga umum terjadi di kampung. Karena ketersediaan ubi lebih banyak, dan harga kentang lebih mahal dibanding ubi, jadi para ibu lebih memilih membuat sambel goreng dari ubi.Â
Ah, lagi-lagi sentilan Mbah Yai ini menjadi evaluasi bagiku. Meskipun aku lebih suka ubi rambat digoreng atau dibuat kolak, tetapi aku juga pernah mendapat nasi berkat dengan tambahan lauk sambel goreng ubi. Bagiku, hal seperti itu bukanlah masalah yang berat, mendapatkan nasi berkat adalah rezeki. Apapun yang kita peroleh adalah rezeki yang harusnya kita syukuri, dalam hal ini kalau dapat nasi berkat ya dimakan, entah itu lauknya apa. Bagi yang punya hajat, semua kembali kepada kemampuan masing-masing, jangan sampai karena mengupayakan sesuatu diluar kemampuan kita. Apalagi sampai mencelakakan diri sendiri dan keluarga. Jangan, ya, Dek, ya ....
Blt, 15 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H