Mohon tunggu...
Umi Sahaja
Umi Sahaja Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Ibu bekerja yang ingin sukses dunia akhirat

Selalu berusaha membuat segalanya menjadi mudah, meski kadang sulit. 😄

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Dia

18 November 2021   16:50 Diperbarui: 18 November 2021   17:08 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia selalu ada saat aku membutuhkan. 

Saat hujan deras aku baru pulang sekolah, tiba-tiba dia sudah ada disana, tersenyum, melambaikan tangan di atas skuter tuanya. Aku teringat, kemudian berboncengan melaju ke rumah.

Dia selalu mengerti , seakan-akan bisa membaca pikiranku.

" Sudah.. tidak usah dipikirkan, fokus saja pada sekolah mu. Itu yang paling penting saat ini. " Ucapnya saat aku lelah dengan keributan yang terjadi di rumah.

Di lain waktu, " Nanti aku anter, aku bantuin, gak usah khawatir, hari itu kuliahku kosong kok!"

Kata-katanya meredam kekhawatiranku saat aku harus pindah kost ke tempat baru.

Dia merasa aku teramat istimewa.

Saat dia memandang ku, wajah nya berbinar. Tersenyum. Apapun yang aku lakukan tidak pernah salah. Selalu menarik dimatanya. Saat belajar naik motor, tanpa dosa kedua kaki ku langsung naik ke dek motor. Aku melakukan itu karena tau dia duduk di belakang ku dengan kakinya yang panjang masih berpijak di tanah. Dia tertawa pada waktu itu. Kalau seperti itu belajar sepeda nya kapan bisanya, katanya sambil tertawa. Aku yang lugu, tak tau harus menjawab apa. Sampai kemudian aku tak pernah bisa naik sepeda. Aku adalah murid yang gagal saat dia menjadi guru nya. 

Di saat teman-teman SMA ku punya pacar. Ada perasaan iri. Ada keinginan untuk sekedar bersantai. Aku kubur diam-diam rasa itu, karena aku tau, aku harus belajar giat. Aku tidak sama dengan mereka. Aku harus bisa lulus lalu bekerja. Tidak boleh berleha-leha. Tak kusangka saat ulang tahun ku tiba, ada amplop merah jambu disana. Ada karikatur yang sangat indah. Ada goresan yang sangat menyentuh hati disana. Ah.. ini hadiah ulang tahun yang teramat manis. Aku ingat saat itu aku simpan dibalik bantal. Sampai beberapa hari, aku selalu membacanya sebelum tidur.

Dia selalu memberikan yang terbaik.

Berusaha membantu apapun kesulitan ku. Pun saat belajar pelajaran sekolah. Tapi aku merasa penjelasannya terlalu tinggi untuk anak seusia ku. Meski begitu aku selalu berusaha belajar dengan caraku sendiri hingga lulus. Hingga wisuda.

Seharusnya saat wisuda adalah saat bahagia ku. Andai tidak terjadi musibah itu. Dia yang berangkat bersama ibu ditabrak pengendara motor yang mabuk. Tidak ada luka serius, tapi tidak bisa memaksakan untuk menghadiri wisudaku. Bagaimana perasaan ku saat itu? Entahlah, sedih pasti. Sepanjang jalan pulang aku hanya bisa menangis.

Dia selalu menghiburku saat aku sedih.

Aku ingat, saat kangen dengan keluarga di rumah. Dia selalu menyempatkan menelpon di pagi buta. Hingga ibu kost ku selalu menggerutu karena nya. Dia selalu menceritakan apa yang terjadi di rumah. Bagaimana keadaan mereka. Dan di akhiri dengan mimpinya. Mimpi yang dia ciptakan sendiri. Mimpi yang dia bangun sendiri. Tanpa mengatakan apa-apa, tak pernah ada kepastian, ini tentang kita. Ah.. ini hanya tentang dia. Aku tak lebih hanya pendengar yang baik. 

Sesekali aku merasa tersanjung saat dia mengatakan :" Aku.. kalau di jalan bertemu seseorang. Orang itu entah ada masalah apa dijalan.. entah kenapa selalu teringat kamu. Lalu aku akan menolongnya. Aku berharap jika kamu yang mengalami kejadian yang sama. Ada orang lain yang akan menolong mu..".

Di saat yang lain, aku yang baru belajar internet. Lalu kita saling berkirim kabar lewat email. Aku sedih. Aku galau. Ada seseorang yang menyukai ku, tapi aku hanya menganggap nya teman. Entah kenapa aku tidak menceritakan nya. Aku hanya menulis :"Sediih..malam Minggu gak ada teman, apalagi pacar!"

Lalu dia membalas :"Lalu Ai pacarnya siapa?"

Aku yang tersipu di tempatku, hanya mampu membalas dengan emoticon "senyum".

Ah.. aku takut. Aku takut dengan rasa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun