Mohon tunggu...
Umi Latifah
Umi Latifah Mohon Tunggu... Administrasi - Akun sementara

Just be realistic

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pemikiran Filsafat Imam Al-Ghazali

8 April 2020   07:57 Diperbarui: 15 Juni 2021   05:32 17052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemikiran Filsafat Imam Al-Ghazali. | Kompas

Tulisan ini dibuat Agar kita bisa mengetahui dan mempelajari jejak-jejak pemikiran tokoh islam yakni Imam Al Ghazali.bahkan bukan hanya yunani saja yang mempunyai tokoh filsafat namun islam juga memiliki tokoh filsafat salah satunya yaitu Imam Al Ghazali.

A. BIOGRAFI AL-GHAZALI

Nama Al-Ghazali dalam kalangan umat islam sudah tidak asing lagi yakni, nama lengkapnya adalah Abu hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali di lahirkan di Tusia di daerah Khurasan (Persia), pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah tepatnya pada tahun 450 Hijriyah bertepatan dengan 1059 M. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ia dilahirkan di Ghazalah, yang terletak di ujung Thus, persia.

Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang tuanya hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo'a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama.Namun  Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do'anya.

Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, Ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya yang bernama Ahmad.

Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal dengan pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur inilah Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma'ali al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi'I yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.Diantara mata pelajaran yang dipelajari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, falsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya dikemudian hari.

Sebelum meninggal beliau juga sempat mengucapkan kata-kata yang pernah diktakan oleh francis bacon yaitu" kuletakkan arwah-arwah ku  di hadapan allah dan tanamkanlah jasad ku di lipatan bumi yang sunyi senyap nama ku akan  bangkil kembali menjadi sebuta  danbuah bibir umat manusia di masa yang akan datang

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, "Bawa kemari kain kafan saya." Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, "Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut." Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A'lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.

Baca juga: Filsafat Kant

B.     KARYA-KARYA DAN PANDANGAN AL-GHAZALI

Dalam mempelajari ilmu filsafat baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat filosof Islam, Al Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali menyerang banyak argumen filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, tidak nyata

Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bthiniyyah dan kaum filosof. Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.

Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.

Maqshid Al Falsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi masalah-masalah filsafat.
Tahfut Al Falsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan keras.

Mi'yr Al 'Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
Ihy` 'Ulm Ad Dn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara damaskus,Yerussalem, Hijjz dan Thus yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.

Al Munqidz Min Adl Dlall (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.

1.Al Ma'rif Al 'Aqliyyah ( yang artinyapengetahuan yang rasional).
2.Misykat Al Anwr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlq tashawuf.
3.Minhaj Al 'bidn (yang artinya jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
 4.Al Iqtishd f Al I'tiqd (moderasi dalam akidah).
5.Ayyuh Al Walad ( yang artinya wahai anak).

Sebagai seorang ilmuan, alGhazali berhasil menyusun buku-buku beliau  kurang lebih sebanyak 100  buah karangannya meliputi berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan, karya al-Ghazali tidakdi konsumsikan kepada masyarakat secara umun,, tetapi ada klasifikasinya , ada yang di peruntukkan kepada orang ahli tazawuf dan ada pula kepada pencinta etika ,oleh karna itulah karya-karyanya ada yang berbeda dengan yang lain.

C. PEMIKIRAN FILSAFAT IMAM AL GHAZALI
Islam memiliki cara pandang tersendiri dalam masalah pendidikan.Orientasi pendidikan yang seharusnya bisa dicapai Mempengaruhi cara pandang proses pendidikan itu sebagaimana mestinya . Perlu diketahui bagaimana bahwa pendidikan islam sebagai langkah untuk menghasilkan pelajar atau peserta didik yang sesuai dengan goal islam.

Pengertian filsafat pendidikan Islam
Ilmu yang berkaitan dengan masalah mendasar dari segala hal di sebut filsafat. Filsafat berusaha untuk membongkar realitas secara mendalam mengenai dasar-dasar terbentuknya, hal-hal prinsip yang membuat realitas ada, dan menjadi pandangan hidup atau pandangan seseorang dalam melihat realitas tersebut.

pertanyaan yang mendasar seperti Apa, Mengapa, Bagaimana menjadikan bagaimana permulaan filsafat bisa terjadi dan terbentuk Aktivitas filsafat tidak akan terjadi apabila tanpa adanya ada pertanyaan. Sebagai contoh timbulnya  pertanyaan tentang Apa dan Siapa Manusia, Apakah itu tuhan dan bagaimanakah wujud tuhan? Semuanya akan dijawab oleh aktivitas filsafat.

Baca juga: Menjadi Manusia Tangguh dengan Filsafat Teras

Filsafat berkembang menjadi pembicaraan tentang hal-hal yang abstrak dan tidak terlihat. Hal abstrak ini biasanya seperti nilai-nilai, ide, pemikiran, dan sistem di masyarakat perkembangan merubah realitas mengenai awal mula terbentknya filsafat . Adanya filsafat yang berupa realitas abstrak maka mulai muncul pemikiran-pemikiran dari filsafat yang akhirnya menjadi landasan sebuah kehidupan di masyarakat atau menjadi cara pandang hidup seseorang.

Menurut Dr. Dardiri, mengatakan di dalam dalam bukunya Humaniora, Filsafat, dan Logika, disebukan bahwa cabang-cabang filsafat adalah sebagai berikut :

Metafisika, tujuan filsafat  dengan membongkar hal-hal yang ada di luar objek. Misalnya berkaitan dengan fungsi, manfaatnya, sebab munculnya,
Epistemologi,tujuan filsafat dengan bagaimana seseorang bisa menghasilkan  pengetahuan cara berfikir tertentu
Metodologi,tujuan Filsafat yang berkenaan dengan cara seseorang bisa menghasilkan pengetahuan tertentu
Estetika,tujuan Filsafat yang berkenaan dengan baik buruknya suatu realitas
Etika, tujuan Filsafat yang berkenaan dengan nilai keindahan suatu perilaku
Logika, Filsafat yang berkenaan dengan valid atau tidak valid suatu pernyataan atau pemikiran yang diambil menggunakan kesimpulan.

Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ilmuwan
Pendidikan adalah proses dimana seseorang mendapatkan suatu pengajaran, proses pembelajaran yang outputnya adalah adanya perubahan baik dalam hal pengetahuan, perilaku, ketrampilan, keahlian, atau cara pandang terhadap sesuatu. Pendidikan bertujuan agar siswa didik maupun mahasiswa atau orang yang didik menunjukkan suatu perubahan yang signifikan dalam hidupnya untuk bisa melakukan sesuatu yang dituju dengan benar.

Berikut penjelasan  ilmuwan yang berbicara dan menyatakan teorinya tentang filsafat pendidikan islam. Diantaranya adalah:
Pendidikan Islam ialah pendidikan Islami, pendidikan yang mempuny karakteristik dan sifat keislaman, yaitu pendidikan yang didirikan dan dikembangkan di atas dasar ajaran Islam menurut Muammad As-Said

Menurut Fatah Yasin mengutip pendapat dari HM. Arifin, ilmu pendidikan Islam merupakan teori, konsep dan atau pengetahuan tentang pendidikan yang berdasarkan Islam.

Menurut Sudiyono, pendidikan Islam sebagian ada yang menitikberatkan pada segi pembentukan akhlak anak, sebagian lagi menuntut pendidikan teori dan praktik, dan sebagian lainnya menghendaki terwujudnya kepribadian muslim, dan lain-lain.

Berikut adalah penjelasan mengenai hakikat pendidikan islam :

Filsafat Pendidikan Islam Berdasar Nilai Dasar Islam
Cara  pandang atau dasar-dasar yang mengenai bagaimana islam melalukan proses pendidikan baik secara formal ataupun informal itulah yang dimaksud dengan filsafat pendidikan islam secara umum. Filsafat ilmu pendidikan islam pada dasarnya hanya mengedepankan beberapa aspek yang menjadi penenganan dalam prosesnya.

Akan tetapi, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M. Yakni krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma'rifah, baik yang empiris maupun yang rasional. Periode ini menandai perubahan orientasi Al-Ghazali, yang memilih melakukan ritual sufistik untuk mencapai ketenangan hati. Al-Ghazali menjelaskan dalam otobiografinya mengapa ia meninggalkan karir cemerlang dan berpaling ke tasawuf. Hal itu kemudian ia jelaskan bahwa kesadarannya meyakinkan dia bahwa tidak ada cara untuk mendapatkan pengetahuan sejati dan ketenangan hati kecuali melalui sufisme.

Kesadaran Al-Ghazali ini juga bisa berkaitan dengan kritiknya terhadap filsafat Islam. Bahkan, penolakannya terhadap filsafat Islam bukan merupakan sebuah kritisisme dari sudut pandang theologi orthodoks saja. Pertama, sikap Al-Ghazali terhadap filsafat terlihat ambivalen. Pada satu sisi, Al-Ghazali menerima beberapa bagian dari filsafat, seperti ilmu alam dan logika. Al-Ghazali berusaha menguasai filsafat untuk kemudian melakukan kritikan terhadapnya. 

Pentingnya kritiknya tersebut terletak pada demonstrasi filosofisnya yang menyatakan argumen --argumen yang dikemukakan para filosofof metafisis tidak dapat bertahan dalam pengujian. Namun di sisi lain, ia juga dipaksa mengakui bahwa kepastian-kepastian agama seperti kebenaran wahyu, alam gaib, dan kenabian tidak dapat diperoleh dengan pembuktian nalar.

Pencarian kebenaran Al-Ghazali ini kemudian dilakukan selama 10 tahun di menara masjid Damaskus. Setelah melakukan suluk sufinya, pemikiran Al-Ghazali yang sebelumnya banyak dihiasi dengan argumentasi teologis dan filsofis mendapatkan warna baru dengan sentuhan sufistik. Hal ini semakin melengkapi konstruk rancang bangun pemikirannya. Atas kecemerlangannya, julukan hujjatul Islam disematkan kepada Al-Ghazali sebagai apresiasi karya-karyanya yang sangat ensiklopedis.

Krisis itu tidak lebih dari pada dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam studi tentang sekte-sekte teologi, ilmu kalam, falsafah serta menulis berbagai kitab dalam bidang falsafah, batiniyyah, fiqh dan lain-lain. Namun, Al-Ghazali tidak merasa puas terhadap kerjanya itu, lalu ia meninggalkan kota Baghdad menuju Damaskus, di mana ia tinggal selama lebih kurang dua tahuh. Dalam masa ini, ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwah dan beribadah serta beri'tikaf di Mesjid kota ini, mengurung diri di menara mesjid pada waktu siang hari. Lalu ia berpindah ke Baitulmakdis untuk melanjutkan khalwah dan ibadahnya kepada Allah.

Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran bersisian dengan makam penyair besar Firdausi.

Baca juga: Filsafat Timur dan Barat, Antara Moral dan Rasionalitas

2.      Al-Ghazali Seorang Filosof?
Polemik Al-Ghazali dengan para filosof, yang ia tuliskan dalam karyanya yang terkenal, Tahafut al-Falasifah membuat sebagian orang memandang bahwa Al-Ghazali adalah orang yang anti filsafat, anti rasio, dan seorang ulama orthodoks semata. Dari sini kemudian Al-Ghazali banyak mendapat kecaman karena dituding sebagai seorang yang bertanggung jawab memundurkan capaian intelektual umat Islam. Dalam buku tersebut Al-Ghazali menerangkan kelemahan-kelemahan argumentasi para filosof. 

Apakah mungkin satu karya yang mengkritik filsafat dapat disebut sebagai buku filsafat?  Al-Ghazali sendiri beberapa kali kesempatan mengatakan bahwa tujuannya menulis buku tersebut memang untuk merobohkan bangunan filsafat. Lantas apakah mungkin pengarang seperti ini dapat digolongkan sebagai seorang filosof ?

Jawaban dari persoalan ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama apabila filsafat diartikan sebagai aliran pemikiran Ibnu Sina dan Al-Farabi serta beberapa pemikir sealiran yang berbicara masalah-masalah ketuhanan, metafisika, jiwa manusia, tanpa melihat proses deduksi dan metode yang digunakan, maka bisa dikatakan bahwa Al-Ghazali bukanlah seorang filosof dan buku karyanya tersebut bukanlah buku filsafat, karena berisi hantaman terhadap pemikiran kedua tokoh filsafat tersebut.

Dasar dari argumen pertama ini dapat dipertanyakan, yaitu apakah lapangan filsafat hanyalah apa-apa yang dibicarakan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina saja? Bagaimana dengan pendapat para filosof lainnya? Apakah bidang garapan filsafat hanya terbatas pada persoalan metafisika semata? Lalu jika tujuan berfilsafat adalah dalam rangka mencapai kebenaran lewat akal, maka apakah yang dilakukan Al-Ghazali bukan sebuah bentuk pencarian kebenaran melalui logika?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas dapat diuraikan lebih jelas apabila kita membuka simpul ikatan yang mengunci bidang kajian filsafat terbatas pada masalah ketuhanan dan metafisika saja. Jika kita perluas pengertian filsafat sebagai usaha untuk menemukan kebenaran menggunakan akal, maka upaya Al-Ghazali ini bisa dikatakan sebagai upaya filosofis. Pendapat-pendapat dalam disiplin filsafat sangatlah beragam, akan sangat mengherankan apabila dibatasi hanya pada Al-Farabi dan Ibnu Sina, meskipun kita tidak dapat menyangkal kebesaran kedua sosok pemikir muslim tersebut.

Dalam buku tahafutnya tersebut Al-Ghazali menunjukkan bahwa argumen-argumen yang disebutkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina penuh dengan kerancuan. Al-Ghazali melontarkan kritikannya tersebut melalui metode yang sama dengan yang digunakan Ibnu Sina. Bahkan beberapa penstudi menyatakan bahwa argumentasi yang diberikan Al-Ghazali jauh lebih detail dan mendalam dari Ibnu Sina dan Al-Farabi. Jadi dapat dilihat disini bahwa kritikan Al-Ghazali bisa digolongkan ke dalam usaha filsofis karena melihat dari metode dan tujuan yang hendak diraihnya.
Dalam lapangan filsafat, tradisi kritisisme merupakan salah satu tradisi yang lumrah. 

Bahkan kritisisme dapat dianggap sebagai inti dari kegiatan berfilsafat, karena mustahil suatu pemikiran manusia akan tetap berdiri sebagai entitas yang kebenarannya relevan dengan perubahan masa. Dengan adanya tradisi kritisisme tersebut, maka kesalahan-kesalahan yang dilakukan para pendahulu dapat dikoreksi dan dibenarkan dengan pemikiran yang datang di masa terkemudian. Sikap skeptis Al-Ghazali tersebut bisa disamakan dengan kritikan Aristoteles terhadap teori idea yang dikembangkan gurunya, Plato. 

Dan apakah dengan kritikan Aristoteles kepada Plato tersebut lantas Aristoteles bisa dianggap menolak filsafat? Dan apakah kemudian bangunan filsafat bisa roboh secara keseluruhan? Mungkin pernyataan Aristoteles bisa kita perhatikan: "Aku mencintai kebenaran. Dan aku mencintai Plato. Aku juga mencintai kebenaran yang ada pada diri Plato. Namun jika disuruh memilih, aku akan lebih memilih kebenaran daripada Plato".

Selain itu, pernyataan bahwa Al-Ghazali adalah seorang yang gigih menentang filsafat tidaklah salah sepenuhnya apabila kita hanya menelaah buku tahafut saja. Namun menjadi lain persoalan jika kita melihat dan membandingkannya dengan karya-karya Al-Ghazali yang lain, dimana dengan jelas terlihat bahwa pemikir berkebangsaan Persia ini adalah seorang rasionalis tulen. Kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof tidak lantas diartikan bahwa ia seorang anti rasio. Kritisisme cendekiawan muslim ini sejatinya tidak dalam rangka membunuh kreativitas intelektual umat Islam karena ia sendiri memberikan apresiasi yang positif terhadap akal sebagai salah satu instrumen mencari pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun