Mohon tunggu...
Umi Laila Sari
Umi Laila Sari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Referensi Al-Qur'an tentang Kerukunan Beragama

14 September 2016   10:21 Diperbarui: 14 September 2016   13:01 2692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara dengan beragam budaya, adat, tradisi, agama serta keyakinan adalah sebuah keberkahan tersendiri bagi Indonesia. Sebab, dari keragamanan itulah tercipta keharmonian hidup. Meski bukan perkara mudah untuk tetap menjaga agar berbagai perbedaan tersebut tidak menjadi muasal permusuhan. Terlebih perbedaan agama yang memiliki tingkat sensifitas tinggi.

Logika Keberagamaan

Agama diyakini sebagai perwujudan kelemahan manusia atas Penciptanya. Manusia membutuhkan Dzat yang mampu melindungi, memberi ketenangan jiwa serta mewujudkan hajat-hajatnya. Sebagai konsekunsinya, manusia bersedia melakukan seperangkat aturan dalam konsep agama. Artinya, agama menjadi hal yang sangat pribadi. Setiap orang punya cara tersendiri untuk mempraktekkan agamanya sebagai pilihan secara merdeka.

Dalam ajaran agama, manusia dituntun untuk berperilaku baik agar mendapatkan kehidupan yang baik. Karena memang agama berperan sebagai penjaga manusia dari sifat dan sikap buruk. Keburukan yang berasal dari bawaan diri manusia, karena pengaruh keburukan orang lain hingga tipuan dari syetan. Tentu saja, peran agama akan maksimal jika manusia menjalankan ajaran agama dengan keseluruhan.

Ketika individu beragama tadi akhirnya membentuk kehidupan bersama maka kebebasan beragama menjadi bagian di dalamnya. Harus ada kesepakatan bahwa agama menjadi dasar atas kerukunan hidup. Bukan justru sebaliknya. Dan agama pun memiliki aturan tentang  sikap pemeluk agama terhadap pemeluk agama lainnya.

Dalam sejarah Islam, Rasulullah saw telah mencotohkan melalui pengukuhan perjanjian yang kemudian dikenal sebagai piagam Madinah. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa orang-orang Yahudi Bani Auf dan kaum Yahudi lainnya yang ada di Madinah adalah satu umat dengan orang-orang Mukmin. Satu umat yang bermakna adanya saling membantu, saling menasehati serta dilarang berbuat jahat. Juga bersama dalam rangka membangun kota Yatsrib.

Teks Piagam Madinah
Teks Piagam Madinah
Lalu, bagaimana dengan kerukunan beragama di Indonesia? Beberapa kasus kerusuhan di Indonesia yang disebabkan penistaan agama adalah kisah pilu. Semua komponen bangsa tentu tidak berharap hal tersebut terulang kembali. Kerukunan beragama harus terus dijaga. Sebab sedari awal berdirinya negara ini memang dengan keberagaman agama. Dan faktanya Indonesia bisa lahir dan diproklamasikan sebagai negara berdaulat.

Aturan Agama di Era Sosial Media

Majunya teknologi di bidang informasi dan telekomunikasi membawa perubahan besar dalam pola interkasi manusia. Bahkan tatanan nilai kehidupan ikut mengalami pergeseran. Kondisi ini tidak bisa dinilai sebagai hal yang baik atau buruk. Semua terletak di tangan manusia sebagai pengambil keputusan pemanfaatan teknologi.  

Bagi seorang muslim, tidak ada urusan kehidupannya yang tidak diatur dalam Islam. Pun dalam berinteraksi di era sosial media. Rujukannya adalah Al-Qur’an sebagai kitab suci yang tidak memiliki masa kadaluarsa sehingga mampu diterapkan di setiap zaman. Terdapat beberapa prinsip dalam Al-Qur’an yang harus dimiliki agar kerukunan beragama senantiasa terjaga.

Pertama, tidak mencela Dzat maupun unsur Tuhan. Dalam Q.S. Al-An’am ayat 108, “Dan janganlah  kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.”

Sosial media memberikan kemudahan bagi siapa saja mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Termasuk ‘curhatan’ tentang Tuhan. Dan seringkali status berlabel keagamaan tersebut secara sadar atau tidak telah memasuki ranah mencela. Perenungan atau pencarian Dzat Tuhan akan lebih bijak jika dibicarakan di ruang keilmuan atau majelis keagamaan. Bukan di dunia maya yang tidak bisa dibatasi orang memberi komentar dengan beragam kepentingan dan tingkat pemahaman. Bukan pencerahan yang didapat dari interkasi sosial media melainkan peluang perselisihan. Kecuali forum group tertutup yang memiliki admin dan pembicara khusus sehingga diskusi dapat dipertanggungjawabkan.    

Kedua, menghindari perdebatan tidak sehat. Dalam Q.S. Al-Ankabut ayat 46, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka.”

Kasus ini cukup banyak terjadi di sosial media. Setiap orang berkomentar saling menyerang dan menjatuhkan. Adu argumen bukan mencari titik yang dapat menyatukan melainkan untuk menujukan keegoan masing-masing. Tentu tidak akan ada penyelesaian dan tidak sedikit yang akhirnya dibawa ke jalur hukum.  

Berhati-hati dalam membuat status atau memberi komentar. Sebuah emotional icon sekalipun memiliki multi tafsir jika sudah dipublikasikan di sosial media.

Ketiga, berupaya berbaik sangka. Dalam Q.S. An-Nur ayat 12, “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata,” Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata.”

Ayat ini turun dalam konteks berita bohong yang menimpa Aisyah ra, istri Rasulullah. Meski demikian, maknanya sangat relevan dengan kondisi kekinian. Begitu banyak gosip dan berita hoaks bertebaran di sosial media. Antara kejadian sebenarnya dengan rekayasa hampir tidak bisa dibedakan. Hanya sedikit hal yang sebenarnya diungkap dari banyak hal yang tidak diketahui. Maka, hal yang awal harus diupayakan adalah berprasangka baik.

Keempat, jangan menjadi bagian dari viral kebohongan. Dalam Q.S. An-Nur ayat 15, “(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.”

Makna kalimat ‘dari mulut ke mulut’ dapat disamakan dengan ‘dari laman ke laman’ mengingat kecanggihan teknologi di masa sekarang. Dengan menggerakan sedikit jari, sangat mudah menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannya dengan rangkaian like, share and comment.

Sebuah tranding topic kerap membuat pengguna sosial media merasa malu jika tidak ikut membicarakannya. Minimal ia akan membagikan kiriman tentang hal yang sedang in. Menahan diri untuk tidak ikut dalam viral kebohongan adalah ciri kedewasaan pengguna sosial media.

Kelima, meneliti kebenaran berita. Dalam Q.S. Al Hujurat ayat 6, “Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Pengertian orang fasik adalah seseorang yang menyaksikan tetapi tidak meyakini dan melaksanakannya. Maksudnya orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan melakukan banyak dosa.  

Dalam tafsir Ibnu Katsir dituliskan, sejumlah ulama melarang menerima berita (riwayat) dari orang yang tidak dikenal, karena barangkali dia adalah orang yang fasik. Tetapi sebagian ulama lainnya mau menerimanya dengan alasan bahwa hanya diperintahkan untuk meneliti kebenaran berita orang fasik, sedangkan orang yang tidak dikenal (majhul) masih belum terbukti kefasikannya karena dia tidak diketahui keadaannya.

Meski memberi banyak informasi, kebenaran info di sosial media sulit dipertanggungjawabkan. Data yang diisi saat seseorang membuat akun sangat rentan pemalsuan. Juga masih bebasnya akun-akun berkontens tidak mendidik yang bertebaran di sosial media. Untuk itu, menjadi sebuah kewajiban bagi setiap pengguna sosial media menilai berkali-kali sebuah informasi.    

Beberapa kasus penistaan agama akhirnya dilaporkan ke pihak kepolisian. Meskipun terlapor sudah meminta maaf atau menonaktifkan akun sosial media yang bersangkutan namun proses hukumnya tetap dilanjutkan. Penyesalan dari pelaku seolah tidak berarti, sebab dampak perbuatannya sudah terlanjur menyebar.

Kerukunan beragama bukan sebuah konsep. Melainkan praktek keberagamaan itu sendiri. Kesadaran akan kerukunan beragama sangat baik jika ditanamkan sejak dini melalui institusi keluarga. Serta diciptakan iklim yang mendukung kerukunan beragama oleh pemerintah, lembaga pendidikan, pihak terkait dunia IT serta segenap pengguna sosial media.

Manusia beragama tentu berkeinginan hidup dalam kedamaian. Islam memberi garansi sebagai agama cinta dan kasih. Al-Qur’an menggariskan aturan hidup berdampingan dengan siapapun. Rasulullah menjadi tauladan pribadi muslim dengan keindahan ahklak, bahkan dengan orang berbeda keyakinan. Maka, masih adakah ruang untuk berlaku buruk mengatasnamakan agama?***

https://www.facebook.com/umi.lailasari?fref=ts

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun