Mohon tunggu...
Umi Laila Sari
Umi Laila Sari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

KMGP; Kolaborasi Ciamik Dunia Penerbitan dan Dunia Film

4 Februari 2016   20:39 Diperbarui: 4 Februari 2016   22:58 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Review Film Ketika Mas Gagah Pergi

Tidak adil memang bila membandingkan antara buku dengan filmya. Karakter buku dan film berbeda. Bagi pembaca buku akan lebih menikmati sebuah karya melalui media kata-kata. Juga sebaliknya, bagi pecinta film lebih nyaman melihat langsung adegan demi adegan. Artinya pasar buku dan film juga tidak sama. Maka tidak jarang orang merasa kecewa saat menonton sebuah film yang diadaptasi dari buku.

Aktifitas membaca memberi ruang imajenasi pembaca memvisualisasikan sendiri tiap adegan dalam alur cerita. Unlimeted imagination. Sementara film menyuguhnya visualisasi berupa setting, angel kamera, jalan cerita, aktor dan akting serta audio berupa soundtrack dan backsound. Dan karena keterbatasan durasi yang sekitar 90 menit, film menjadi tidak lebih bebas dari buku. Kesenjangan antara imajenasi pembaca dengan visulisasi film inilah yang akhirnya penyebab ‘film gagal’.

Film Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) adalah kasus unik tentang hubungan imajinasi pembaca dan visualisasi film. Karena penulis buku sekaligus produser film KMGP, Helvy Tiana Rosa berjanji akan mempertahankan ‘jiwa’ bukunya di film, maka saya tetap akan membandingkan keduanya. Di versi buku, bagi saya kisah KMGP selesai ketika mas Gagah meninggal sebagaimana cerita awal yang ditulis Helvy Tiana Rosa tahun 1992. Lalu di tahun 1997, ada tokoh Yudi (Lelaki Tak Bernama) sebagai episode bersambung KMGP yang dalam edisi buku dibuat judul Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali, saya nilai tidak cukup menarik dibanding kisah pertama. Bahkan cendrung membosankan. Tetapi, harus saya akui saya jadi terkesima saat di film ternyata bagian kisah kedua justru menyatu di kisah pertama. Penggabunggan itu menjadi jalinan kisah yang utuh dan menarik.

Penyajian alur kisah maju-mundur juga point kekuatan film KMGP. Kecerdasan team penulis skenario dan sutradara agar penonton yang mayoritas sudah membaca bukunya tidak mudah menebak kelanjutan adegan film. Sayangnya film ini dibuat menggantung dengan konflik yang belum usai. Yang saya khawatirkan adalah penonton yang belum tentu menonton kelanjutan KMGP 2 atau tidak membaca bukunya. Konflik yang belum terselasaikan akan membawa kesan negatif. "Mas Gagah berubah. Katanya ingin lebih baik, kok nyatanya selalu bertengkar dengan Gita," kira-kira begitu logika anak SMP. Maklum film KMGP juga ditonton rombongan siswa SMP, siswa SMA hingga santri-santri pondok pesantren yang mungkin baru sekali itu menonton di bioskop. Dan belum tentu ada peluang lagi untuk kembali nobar yang difasilitasi sekolah.

Tapi semoga itu hanya kekhawatiran sebab anak-anak Indonesia adalah penonton yang cerdas. Selain kekhawatiran tersebut, film KMGP yang sepertinya ‘dipaksa’ bersambung juga sedikit membawa kekecewaan bagi penonton. Pada part 1, film baru berupa pengantar cerita menuju puncak konflik lalu ditutup begitu saja hanya dengan tulisan KMGP 2 coming soon. Rasanya saya mau bilang, “ini saya beli tiket lagi, langsung putar KMGP 2 ya.” Namun saya juga berusaha memahami pertimbangan tersendiri pembuat kebijakan hingga memutuskan untuk membuat part 2.

Di versi buku memang KMGP menggunakan sudut pandang Gita, sebagai adik, yang mengisahkan sosok kakaknya. Jadi wajar jika di film, aksi tomboy Aquino Umar paling banyak disorot. Dan kabar bagusnya eksplorasi peran Noy sebagai Gita Ayu Pratiwi luar biasa sukses. Sebagai pendatang baru, Noy berhasil menguras emosi penonton. Salut untuk dek manis! Untuk acting 3 pemain utama lainnya Hamas Syahid, Masaji serta Izzah Azrina (belum tampil di KMGP 1) lumayanlah.

Namun, ada bagian yang bagi saya menganggu yakni simbolitas hijrah Gagah. Simbol dibutuhkan sebagai penanda tapi tidak perlu berlebihan dan terkesan dipaksakan. Seperti jenggot yang bagi saya jadi terlihat lucu karena tampak tidak alami. Atau kostum koko yang selalu dikenakan pasca ‘berubah’. Bukankah meski telah hijrah, pilihan kostum bisa apa saja selama sesuai syariat. Tentu ini tidak termasuk simbol yang bersifat wajib seperti jilbab bagi perempuan.

Tentang sinematografi, tata musik, serta latar tidak perlu dikomentari lagi, keren! Angle kamera di pinggiran Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan kekumuhannya sebagai daerah ‘Texas’ serta batu Angus dan pulau Hiri Ternate (walau baru sekilas) dengan keindahan alam bawah lautnya menjadi latar ‘cantik’ sekelas film-film terbaik Indonesia.

Lalu, dengan sederet keunggulan KMGP, bagaimana apresiasi penonton? Saya termasuk yang penasaran dengan jumlah penonton KMGP, namun hingga saat mengetik review ini belum mendapat info terkini dan valid. Hanya menemukan rilis dari kelompok bioskop jaringan 21 untuk update jumlah penonton film nasional sampai tanggal 24 Januari 2016. Film KMGP yang tayang perdana serentak pada 21 Januari (artinya baru 4 hari tayang) meraih 37.986 meninggalkan film Midnight Show  yang justru rilis seminggu sebelumnya (14 Januari) yang hanya meraih 27.675 penonton.

Tiga hari lalu, saya dapat kiriman gambar di WhatsApp dari teman. 10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton yang ternyata di urutan pertama ada Ketika Mas Gagah Pergi the Movie dengan julmah 112.022. Meski belum hasil final, semoga menjadi indikasi awal bahwa KMGP diterima antusias pasar perfilman Indonesia. Setidaknya saya ikut merasakan berdesakan saat menonton di hari dan jam perdana tayang. Sekilas info bahwa di Cinemaxx Palembang Icon saat kami nonton, dua cinema di jam yang sama full penonton, 400 orang. 

Boleh jadi salah satu kesuksesan Film KMGP karena mampu mengambil peluang pasar potensial perfilman yakni rentang usia 19-25 tahun dengan jenis kelamin perempuan. Namun faktor promosi juga punya peran penting. Beberapa komunitas yang mendukung film ini juga turut menyebarkan iklan serta tentu saja ‘mewajibkan’ anggotanya menonton. Hingga penonton KMGP sangat bervariatif latar belakang sosial, usia, serta gender.        

Lepas dari kelebihan dan kekurangan film KMGP yang bisa jadi masukan bagi perbaikan kedepan. Ada sisi keistimewaan film ini yang belum tentu dimiliki film lain. Istimewa atas misi yang diemban dengan menghadirkan tontonan yang menginspirasi sekaligus mengajak berbuat nyata. Mendonasikan keuntungan film bagi Palestina, pendidikan Indonesia bagian Timur, gerakan menanam pohon adalah bagian dari aplikasi hijrah sebagai ruh film KMGP.

Akhirnya, selamat untuk semua pihak yang terlibat dalam kerja besar perjuangan misi KMGP.  Tak hanya sukses di buku dengan 46 kali cetak ulang, moga juga sukses di film. Kolaborasi ciamik. Barakallah!

 *Foto Dokumen Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun